Dalam Al-Qur’an banyak terdapat potret keluarga sepanjang zaman. Ada potret keluarga saleh & ada juga potret keluarga celaka. Potret-potret keluarga tersebut meskipun terjadi pada masa dan lingkungan yang berbeda dengan masa saat ini, akan tetapi ia tetap mengandung banyak hikmah & pelajaran berharga yang senantiasa kekal sepanjang zaman. Dalam tulisan sederhana ini, kita akan mengetengahkan beberapa potret keluarga teladan dalam Al-Qur’an untuk kemudian kita petik hikmah dan pelajaran-pelajaran berharganya.
1. Keluarga Imran
Satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang diberi nama dengan nama sebuah keluarga adalah surat Ali Imran (keluarga Imran). Tentunya bukan sebuah kebetulan nama keluarga ini dipilih menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam Al-Qur’an. Di samping untuk menekankan pentingnya pembinaan keluarga, pemilihan nama ini juga mengandung banyak pelajaran yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran.
Satu hal yang unik adalah bahwa profil Imran sendiri -yang namanya diabadikan menjadi nama surat ini- tidak pernah disinggung sama sekali. Yang banyak dibicarakan justru adalah istri Imran (imra’atu Imran) & puterinya; Maryam. Hal ini seolah mengajarkan kita bahwa keberhasilan seorang kepala rumah tangga dalam membawa anggota keluarganya menjadi individu-individu yang saleh dan salehah tidak serta merta akan menjadikan profilnya dikenal luas dan tersohor. Boleh jadi dirinya tidak dikenal orang -kecuali hanya sekedar nama- tetapi rumah tangga yang dipimpinnya telah menjadi sebuah rumah tangga yang sukses & teladan banyak orang. Hikmah ini juga mengingatkan kita pentingnya mensucikan niat dalam setiap amal perbuatan untuk semata-mata mengharap ridha Allah swt., bukan ingin dikenal sebagai seorang kepala tangga yang sukses, ingin dipuji & sebagainya.
Niat sangat menentukan kualitas & kontinuitas amal yang dilakukan. Orang yang niatnya dalam beramal hanya untuk memperoleh sesuatu -baik berupa pujian, penghargaan, materi dsb- maka amalnya akan berhenti setelah ia merasa telah memperoleh apa yang ia angankan. Berbeda dengan orang yang beramal karena mengharap ridha Allah. Ia akan senantiasa beramal tanpa kenal lelah atau putus asa karena ia tidak tahu apakah ridha Allah yang ia harapkan itu sudah ia gapai atau belum.
Dikisahkan bahwa Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Akan tetapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Maka istri Imran bernazar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah (Baitul Maqdis). Nazar itu ia ikrarkan karena ia sangat berharap agar anak yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki sehingga bisa menjadi khadim (pelayan) yang baik di Baitul Maqdis. Ternyata anak yang dilahirkannya adalah perempuan. Istri Imran tidak dapat berbuat apa-apa. Allah swt. telah menakdirkan anaknya adalah perempuan & ia tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak mengetahui bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Karena ia yang kelak akan menjadi ibu dari seorang nabi dan rasul pilihan Allah. Setelah itu, anak perempuan -yang kemudian diberi nama Maryam- tersebut diasuh & dididik oleh Zakaria yang juga seorang Nabi dan Rasul, serta masih terhitung kerabat dekat Imran. Kisah ini dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 35-37.
2. Keluarga Nabi Ibrahim as.
Barangkali dari sekian potret keluarga yang disinggung dalam Al-Qur’an, keluarga Nabi Ibrahimlah yang banyak mendapat sorotan. Bahkan dimulai sejak Ibrahim masih muda ketika ia dengan gagah berani menghancurkan berhala-berhala kaum musyrikin sampai ia dikaruniai anak di masa-masa senjanya. Keluarga Nabi Ibrahim as. termasuk keluarga pilihan di seluruh alam semesta. Sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 33: “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim & keluarga Imran di seluruh alam semesta.” Akan tetapi, kita hanya akan mengambil beberapa episode saja dari rangkaian sejarah keluarga Nabi Ibrahim di dalam Al-Qur’an.
Episode paling terkenal dari kisah Nabi Ibrahim adalah ketika Allah swt. mengaruniakan seorang putra kepadanya di saat usianya sudah sangat lanjut, sementara istrinya adalah seorang yang mandul. Namun Allah swt. Maha Kuasa untuk berbuat apa saja, sekalipun hal itu melanggar undang-undang alam (sunan kauniyah), karena toh alam itu sendiri Dia yang menciptakan.
Ibrahim yang sudah renta dan istrinya yang mandul akhirnya memperoleh seorang putra yang diberi nama Ismail. Penantian yang sekian lama membuat Ibrahim sangat mencintai anak semata wayangnya itu. Tapi, Allah swt. ingin menguji imannya melalui sebuah mimpi -yang bagi para nabi adalah wahyu-. Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Sebelum melaksanakan perintah itu, terjadi dialog yang sangat harmonis & menyentuh hati antara anak & bapak. Ternyata, sang anak dengan hati yang tegar siap menjalani semua kehendak Allah. Ia bersedia disembelih oleh ayahnya demi menjalankan perintah Allah swt. Ketegaran sang ayah untuk menyembelih sang anak & kesabaran sang anak menjalani semua itu telah membuat mereka berhasil menempuh ujian yang maha berat tersebut. Allah swt. menebus Ismail dengan seekor domba, & peristiwa bersejarah itu diabadikan dalam rangkaian ibadah korban pada hari Idul Adha. Kisah ini direkam dalam Al-Qur’an surat ash-Shaffaat ayat 100-107.
3. Keluarga Luqman
Ulama berbeda pendapat apakah Luqman seorang Nabi atau hanya seorang yang bijak bestari. Pendapat terkuat adalah bahwa Luqman bukanlah seorang Nabi melainkan seorang ahli hikmah (hakiim). Namanya diabadikan menjadi nama salah satu surat dalam Al-Qur’an. Sebagian besar ayat-ayat dalam surat Luqman bercerita tentang nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya. Pelajaran berharga yang dapat kita ambil di sini adalah seyogyanya pendidikan dasar pertama yang diterima oleh anak adalah datang dari orang tuanya sendiri. Orang tualah yang paling bertanggung jawab untuk mendidik & mengarahkan anaknya ke jalan yang baik. Adapun sekolah hanyalah sebagai sarana pendukung dalam proses pendidikan anak secara formal. Jadi, selayaknya orang tua selalu memberikan nasehat-nasehat berharga kepada anak-anaknya sejak mereka masih kecil. Karena di masa-masa itu, ingatan mereka masih sangat kuat untuk merekam apa saja yang disampaikan kepada mereka. Dalam usia-usia tersebut, mereka ibarat kertas putih yang bisa ditulis dengan apa saja. Alangkah baiknya bila orang tua memanfaatkan masa-masa itu untuk membentuk karakter & pribadi anak-anaknya dalam bingkai keimanan & akhlak yang mulia.
4. Keluarga Nabi Ya’qub as.
Nabi Ya’qub adalah putra Nabi Ishak & cucu Nabi Ibrahim. Ia mempunyai putra yang juga seorang Nabi yaitu Yusuf as., sehingga Nabi Yusuf digelari dengan al-Karim ibnu al-Karim ibnu al-Karim (orang yang mulia putra dari orang yang mulia & cucu dari orang yang mulia). Kisah Nabi Ya’qub as. bersama anak-anaknya dimuat dalam surat Yusuf secara sempurna. Kisah tersebut dijuluki oleh Allah sebagai ahsanul qashash (kisah terbaik). Di samping jalan ceritanya yang menarik, kisah ini juga mengandung hikmah & pelajaran yang sangat berharga. Kisah keluarga Ya’qub ini diawali dengan mimpi yang dialami oleh Yusuf kecil. Ia melihat sebelas bintang, matahari & bulan sujud kepadanya. Yusuf menceritakan mimpinya itu kepada ayahnya. Nabi Ya’qub mengetahui bahwa anaknya ini kelak akan menjadi orang besar & terpandang. Oleh karena itu, Nabi Ya’qub meminta anaknya untuk merahasiakan mimpinya itu dari saudara-saudaranya yang lain.
Sejak saat itu, kasih sayang & perhatian Nabi Ya’qub kepada anaknya Yusuf semakin bertambah. Hal itu kemudian membuat anak-anak Nabi Ya’qub lainnya merasa iri pada Yusuf. Akhirnya, setelah mengelabui sang ayah, mereka melemparkan Yusuf ke dalam sumur tua. Mereka pulang dengan membawa baju Yusuf yang telah dilumuri darah kambing, lalu mengadukan pada ayah mereka bahwa Yusuf telah dimakan serigala.
Yusuf kemudian dipungut oleh kafilah dagang yang sedang menuju negeri Mesir. Yusuf dijual sebagai seorang budak. Ia dibeli oleh seorang pejabat istana kerajaan Mesir. Setelah melalui berbagai cobaan (seperti digoda oleh istri tuannya yang membuatnya dijebloskan ke penjara karena menolak rayuan maut itu) Yusuf akhirnya menjadi tokoh berpengaruh di Mesir. Ia mendapatkan posisi penting dalam mendistribusikan kebutuhan pokok pada segenap warga selama musim paceklik melanda. Ternyata paceklik juga menimpa keluarga Nabi Ya’qub. Nabi Ya’qub menyuruh anak-anaknya meminta bantuan kepada penguasa Mesir yang sesungguhnya adalah putranya sendiri. Akhirnya setelah beberapa kali pertemuan, Nabi Yusuf baru memberitahukan kepada saudara-saudaranya yang datang meminta bantuan pangan itu bahwa dialah Yusuf yang dulu mereka lemparkan ke dalam sumur tua. Tak berapa lama setelah itu, Nabi Ya’qub berjumpa kembali dengan putranya tercinta dan keluarga Nabi Ya’qub diboyong ke Mesir untuk hidup bersama Nabi Yusuf yang telah menjadi seorang pembesar & tokoh berpengaruh di negeri itu.
5. Keluarga Nabi Daud as.
Awalnya, Nabi Daud adalah salah seorang tentara dalam pasukan yang dipimpin oleh Thalut. Karena keberhasilan Daud membunuh Jalut (al-Baqarah: 251) bintangnya mulai berkibar & akhirnya ia menjadi seorang raja besar Bani Israil. Putranya, Sulaiman juga seorang Nabi & Rasul yang kelak mewarisi kekuasaan ayahnya. Jadi, bisa dibilang keluarga Nabi Daud adalah potret keluarga elit kekuasaan yang taat kepada Allah. Nabi Daud selalu menyuruh keluarganya untuk senantiasa mengerjakan shalat & berzikir. Dikisahkan bahwa Nabi Daud memiliki waktu-waktu tertentu dimana ia bermunajat & berzikir kepada Allah di mihrabnya. Di saat seperti itu, tak seorangpun yang boleh & berani mengganggu beliau. Ternyata kekuasaan besar yang diberikan kepadanya sama sekali tidak menghalanginya untuk mengkhususkan sebagian waktunya tenggelam dalam lautan zikir kepada Allah.
Selain nuansa ibadah dan zikir, keluarga Nabi Daud juga kental dengan nuansa ilmu pengetahuan. Sudah jamak diketahui bahwa Nabi Daud adalah manusia pertama yang mampu mengolah besi dengan tangannya untuk berbagai keperluan terutama persenjataan perang. Di samping itu, Nabi Daud juga dikenal sebagai seorang raja yang adil & bijaksana yang mampu memecahkan berbagai permasalahan yang paling rumit sekalipun dengan baik. Tentunya semua itu membutuhkan kecerdasan & ilmu pengetahuan. Sifat ini kemudian diwarisi oleh putranya, yaitu Nabi Sulaiman. Bahkan dalam beberapa kasus, Allah swt. memberikan pemahaman yang lebih kepada Nabi Sulaiman, sehingga berkat ilmu dan kecerdasannya kasus-kasus tersebut dapat diselesaikan dengan penuh keadilan. Jadi, sebelum mereka berkuasa dengan kekuatan fisik dan senjata, mereka telah berkuasa lebih dahulu dengan kekuatan ilmu dan kecerdasan.
6. Keluarga Nabi Syu’aib as. Bersama Kedua Puterinya
Setelah lari dari Mesir untuk menghindari pengejaran tentara Fir’aun, Nabi Musa as. tiba di sebuah negeri yang bernama Madyan. Di sana ia melihat kerumunan manusia yang sedang berdesak-desakan untuk mengambil air dari sebuah sumur. Tak jauh dari kerumunan itu tampak dua orang gadis sedang berdiri menunggu hingga kerumunan itu bubar. Musa mendekati kedua gadis tersebut dan bertanya, “Kenapa dengan kalian?” Keduanya menjawab, “Kami tidak bisa mengambil air sampai mereka semua selesai, sementara ayah kami sudah sangat tua”. Tanpa pikir panjang lagi, Nabi Musa segera membantu kedua orang gadis itu untuk mengambil air.
Tidak berapa lama setelah itu, Nabi Musa diundang untuk datang oleh ayah kedua gadis itu yang tak lain adalah Nabi Syu’aib as.[4] Dalam surat al-Qashash ayat 25 disebutkan bahwa salah seorang dari kedua gadis yang disuruh oleh ayahnya untuk mengundang Nabi Musa itu datang sambil malu-malu. Ia tidak termasuk tipe gadis salfa’ (gadis yang terlalu berani pada laki-laki). Rasa malu gadis itu dibalas oleh Nabi Musa dengan penuh bijak dan berwibawa ketika ia meminta gadis itu untuk berjalan di belakangnya untuk menjaga pandangan & bisikan hati dari hal-hal yang dihembuskan oleh setan & hawa nafsu. Muru’ah (harga diri) seorang laki-laki muslimlah yang telah mendorong Nabi Musa untuk menjaga hati dan juga ‘iffah (kesucian diri) gadis itu. Ternyata ayah sang gadis bermaksud menawarkan Nabi Musa untuk menikahi salah seorang puterinya. Tawaran itu pun dibalas oleh Nabi Musa dengan penuh mulia yaitu pengabdian selama lebih kurang delapan tahun sebagai mahar dari pernikahan tersebut.