Puluhan
tahun yang lalu, ahli ekonomi telah menyatakan bahwa perdagangan luar negeri
merupakan salah satu sumber kekayaan negara, sehingga jika suatu negara ingin
mencapai kemakmuran, maka mutlak negara tersebut harus melakukan perdagangan
dengan negara lainnya.
Beberapa
salasan mengapa suatu negara memerlukan negara lain dalam kehidupan ekonominya
adalah:
1. Tidak
semua kebutuhan masyarakatnya dapat dipenuhi oleh komoditi yang dihasilkan di
dalam negeri, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut, harus dilakukan impor
dari negara yang memproduksinya.
Sebagai
contoh: meskipun negara Arab adalah negara yang kaya, namun tidak dapt
menghasilkan karet untuk bahan baku ban mobil, sepatu, atau sendal. Tentunya
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku karet tersebut harus membelinya dari
negara-negara yang menghasilkannya (negara Asia misalnya).
2. Karena
terbatasnya konsumen, tidak semua hasil produksi dapat dipasarkan di dalam
negeri, sehingga perlu dicari pasar di luar negeri. Untuk itulah suatu negara
membutuhkan negara lain untuk perluasan pasar bagi produknya.
3. Sebagai
sarana untuk melakukan proses alih teknologi. Dengan membeli produk asing suatu
negara dapat mempelajari bagaimana produk tersebut dibuat dan dipasarkan,
sehingga dalam jangka panjang dapat melakukan produksi untuk barang yang sama.
4. Perdagangan
antar negara sebagai salah satu cara membina persahabatan dan
kepentingan-kepentingan politik lainnya.
5. Secara
ekonomis dan matematis perdagangan antar negara dapat mendatangkan tambahan
keuntungan dan efisiensi dari dilakukannya tindakan spesialisasi produksi dari
negara-negara yng memiliki keuntungan mutlak dan/ atau keuntungan berbanding.
Dan untuk memberi gambaran mengenai hal ini dapat digunakan contoh berikut:
Contoh 1:
Dua negara,
Indonesia dan Cina memiliki data-data produksi sebagai berikut:
Indonesia
Produksi
beras 1000 ton/ satu unit produksi
Produksi
gandum 50 ton/ satu unit produksi
Cina
Produksi
beras 500 ton/ satu unit produksi
Produksi
gandum 200 ton/ satu unit produksi
Dengan beberapa
asumsi bahwa:
a. Perdagangan
hanya dilakukan oleh dua negara dan dua komoditi yang sama
b. Hasil
produksi adalah per satu unit produksi
c. Transaksi
dilakukan secara barter
Maka
bersediakah kedua negara tersebut melakukan perdagangan? Jika bersedia,
berapakah kenaikan produksi dunia dari kedua komoditi tersebut? Dan berapakah
keuntungan yang diperoleh masing-masing negara?
Jawab:
TABEL 1
Produksi Beras
|
Produksi Gandum
|
Harga Relatif gandum = beras
|
Harga Relatif Beras = Gandum
|
|
Indonesia
|
1000 ton
|
50 ton
|
1 gd = 20 beras
|
1 brs = 0,05 gd
|
Cina
|
500 ton
|
200 ton
|
1 gd = 2,5 beras
|
1 brs = 0,4 gd
|
Dari tabel
1 terlihat bahwa Indonesia ternyata tampaknya lebih produktif dalam
menghasilkan beras, dan sebaliknya. Cina lebih produktif dalam menghasilkan
gandum. Untuk memastikannya kita cari harga relatif kedua produk tersebut di
masing-masing negara. Dari perhitungan tampak, bahwa di Indonesia 1 ton gandum
dihargai dengan 20 ton beras (100/50), sedangkan di Cina 1 ton gandum hanya
seharga 2,5 ton (500/200). Dengan demikian, untuk produk gandum ternyata lebih
murah jika diproduksi di Cina.
Sedangkan
untuk produk beras yang terjadi adalah sebaliknya. Dari perhitungan harga
relatif, Indonesia lebih efisien dalam memproduksi beras, hal ini dapat dilihat
bahwa untuk 1 ton beras di Indonesia hanya seharga 0,005 ton (50/100) gandum,
jauh lebih murah 1 ton beras di Cina yang seharga 0,4 ton (200/500) gandum.
Dengan
keadaan tersebut dapat disimpulkan bahwa, Indonesia dapat memproduksi beras
lebih efisien dan sebaliknya melakukan spesialisasi pada produksi beras. Begitu
pula sebaliknya Cina dapat lebih efisien dalam memproduksi gandum dan
sebaliknya melakukan spesialisasi pada produk tersebut.
Dengan demikian
dapat dilihat dalam tabel berikut:
Produksi Beras
|
Produksi Gandum
|
|
Indonesia
|
2000
|
-
|
Cina
|
-
|
400
|
Dari tabel
kedua tersebut terlihat bahwa produksi beras dunia telah meningkat, dari
sebelum adanya spesialisasi hanya sebesar 1500 ton (produksi Indonesia 1000 +
produksi Cina 500) menjadi 2000 ton. Begitu pula dengan produksi gandum dunia
juga mengalami peningkatan dari 250 ton (produksi Indonesia 50 ton + produksi
Cina 200 ton) menjadi 400 ton. Dengan demikian masyarakat dunia dapat lebih
banyak menikmati produk beras dan gandum.
Namun,
berapakah keuntungan yang dirasakan oleh negara Indonesia dan Cina? Perhatikan
tabel proses perdagangan berikut ini:
Produksi Beras
|
Produksi Gandum
|
|
Indonesia
|
||
Cina
|
1000
|
300
|
Sebelum masing-masing
negara saling menukar kedua komoditi tersebut, akan dilakukan negosiasi
mengenai nilai tukar dari kedua komoditi tersebut. Besarnya nilai tukar
tersebut biasanya berkisar atau di antara nilai harga relatif kadua komoditi di
masing-masing negara. Dengan demikian nilai tukar internasional 1 ton gandum
adalah di antara 2,5 ton sampai dengan 20 ton beras, yakni ± 1
ton gandum akan dihargai 10 ton beras (bisa juga 9, 11, atau 12 ton beras).
Dengan demikian jika Indonesia mengimpor gandum dari Cina sebesar 1000 ton,
maka sebagai konsekuensi dari nilai tukar yang disepakati, maka Indonesia akan
mengirim 1000 ton beras (100 ton gandum × 10) kepada Cina (lihat tabel di
atas).
Dari tabel
terakhir tersebut tampak bahwa masing-masing negara telah mendapatkan
keuntungan berupa bertambahnya komoditi yang tersedia di dalam negeri, dengan
rincian:
· Indonesia mendapatkan keuntungan dalam hal
komoditi gandum senilai 50 ton, karena sebelum perdagangan hanya dapt menikmati
50 saja, sedangkan setelah perdagangan menjadi 100 ton gandum.
· Cina mendapat keuntungan dalam komoditi beras
senilai 500 ton, karena sebelumnya hanya bisa menghasilkan 500 ton, dan setelah
perdagangan dapat menikmati 100 ton beras.
KEBIJAKSANAAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI DARI PELITA KE PELITA
Bahwa pembangunan nasional
direalisasikan melalui, Pembangunan
Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka
Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program
Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah
melaksanakan enam Pelita yaitu:
· Pelita I (1 April 1969 - 31 Maret 1974)
Menjadi
landasan awal pembangunan masa Orde Baru.
Tujuan
Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan
dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya.
Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja,
dan kesejahteraan rohani.
Titik
beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa
Marali
(Malapetaka Limabelas Januari)
Terjadi pada
tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke
Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang
menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk
barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan
pembakaran barang-barang buatan Jepang.
· Pelita II (1 April 1974 - 31 Maret 1979)
Sasaran
utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana
prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
Pelaksanaan
Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi
mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan
pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.
· Pelita III (1 April 1979 - 31 Maret 1984)
Pelaksanaan
Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, yang isinya:
a. Pemeratan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju
kepadaterciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Dengan
titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur
Pemerataan, yaitu:
- Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat,
khususnya sandang, pangan, dan perumahan
- Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan
- Pemerataan pembagian pendapatan
- Pemerataan kesempatan kerja
- Pemerataan kesempatan berusaha
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunankhususnya
bagi generasi muda dan kaum perempuan
- Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah
tanah air
- Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan
· Pelita IV (1 April 1984 - 31 Maret 1989)
Titik
berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
Dan di
tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
· Pelita V (1 April 1989 sampai 31 Maret 1994)
Titik beratnya terdapat
pada sektor pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia
berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per
tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang
menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
· Pelita VI (1 April 1994 sampai 31 Maret 1999)
Titik berat
pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri
dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya.
Sektor
ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu
perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga
menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
2. HAMBATAN PERDAGANGAN ANTAR NEGARA
Meskipun setiap
negara menyadari bahwa perdagangan negaranya dengan negara lain harus
terlaksana dengan baik, lancar, dan saling menguntungkan; namun seringkali
negara-negara tersebut membuat suatu kebijaksanaan dalam sektor perdagangan
luar negeri yang justru menimbulkan hambatan dalam proses transaksi perdagangan
luar negeri.
Namun
demikian, dengan mulai dicetuskannya era perdagangan bebas, maka
hambatan-hambatan yang selama ini cukup menggelisahkan akan dicoba untuk
dikurangi dan jika mungkin dihapuskan. Adapun bentuk-bentuk hambatan yang
selama ini terjadi di antaranya adalah:
· Hambatan
Tarif
Tarif
adalah suatu nilai tertentu yang dibebankan kepada suatu komoditi luar negeri
tertentu yang akan memasuki suatu negara (komoditi import). Tarif sendiri
ditentukan dengan jumlah yang berbeda untuk masing-masing komoditi import.
Secara garis besar bentuk penetapan tarif ada dua jenis, yakni:
Tarif
Ad-Volarem
Yakni
tarif yang besar kecilnya ditetapkan berdasarkan presentase tertentu dari nilai
komoditi yang diimpor. Misalnya jika tarif untuk komoditi import komponen mobil
adalah 5%, maka jika ada komponen mobil masuk seharga $ 1.000 maka tarifnya
adalah sebesar $ 500. Akibatnya harga komponen mobil tersebut sekarang menjadi
$ 1.500.
Tarif
Spesifik
Yakni
tarif yang besar kecilnya didasarkan pada nilai yang tetap untuk setiap jumlah
komoditi import tertentu. Sebagai contoh, setiap komoditi import seberat 1 ton
akan dikenakan tarif senilai $ 500. Jika kita bandingkan dengan jenis tarif
yang pertama maka terdapat perbedaan yang mencolok, yakni besarnya tarif akan
sama meskipun nilai komoditi yang diimport tidak sama, karena 1 ton komoditi
import tersebut bisa saja nilainya $ 5.000, yang jika digunakan tarif
ad-volarem akan dikenai tarif sebesar $ 2.500 (lebih besar dari tarfi
spesifiknya yang hanya $ 500). Di dalam perekonomian Indonesia sendiri tarif
masih menjadi salah satu sumber pendapatan negara dan sebagai alat proteksi
industri dalam negeri yang cukup ampuh, meskipun mulai dicoba untuk dikurangi
searah dengan persiapan era perdagangan bebas yang segera akan berlaku di tahun
2000-an.
Jika kita
perhatikan dalam gambar di atas, grafik tersebut adalah merupakan gambaran
proses terjadinya dan cara bekerjanya tarif sebagai perekonomian Indonesia. Garis D adalah meakili permintaan
masyarakat Indonesia terhadap komoditi asing (imprt). Garis S dan pergeserannya S’ dan S” adalah mewakili penawaran
komoditi import oleh eksportir asing.
Pada proses pertama sebelum terjadi perdagangan adalah sebesar Po untuk harga dan Qo untuk komoditinya. Setelah terjadi transaksi pedagangan misalkan
import kendaraan dari Amerika meningkat, maka persediaan/ penawaran komoditi
import meningkat yang menyebabkan garis S bergeser menjadi S’. Dari kejadian
ini sesuai hukum permintaan harga keseimbangan akan turun menjadi P1, sedangkan
jumlah komoditi keseimbangannya meningkat menjadi lebih banyak, yakni sebesar
Q1. Hal ini tentu akan merugikan industri dalam negeri jika tidak dikenakan
tarif. Untuk mengatasi masalah tersebut dikenakanlah kebijaksanaan tarif,
sehingga jumlah import menjadi berkurang dan garis penawaran S’ akan bergeser
ke kiri menjadi S”, dengan harga keseimbangan P2 dan jumlah keseimbangan Q3.
Dari
peristiwa transaksi luar negeri dan pengenaan tarif tersebut dapat disimpulkan:
a. Tidak
adanya tarif menjadikan komoditi import yang masuk ke Indonesia menjadi
bertambah banyak sehingga harganya turun (menjadi lebih murah), akibatnya
masyarakat lebih menyukai produk tersebut. Hal ini berakibat produksi/
penawaran produk sejenis dari industri dalam negeri merosot tajam menjadi hanya
sebesar Q2 saja, sesuatu hal yang merugikan. Dengan kata lain industri nasional
hanya mampu dan memiliki kontribusi sebesar Q2 saja dari seluruh kebutuhan
komponen kendaraan di Indonesia.
b. Kebijaksanaan
tarif menjadikan keadaan pada kesimpulan pertama menjadi lebih baik, hal ini
dibuktikan dengan naiknya produksi nasional yang dipergunakan menjadi lebih
besar yakni sebesar Q4 (jauh lebih baik dari sebelum adanya tarif).
· Hambatan
Quota
Quota
termasuk jenis hambatan perdagangan luar negeri yang lazim dan sering
diterapkan oleh suatu negara untuk membatasi masukkan komoditi import ke
negaranya. Quota sendiri dapat diartikan sebagai tindakan pemerintah suatu
negara dengan menentukan batas maksimal suatu komoditi import yang boleh masuk
ke negara tersebut. Seperti halnya tarif, tindakan quota ini tentu tidak akan
menyenangkan bagi negara peng-ekspornya. Indonesia sendiri pernah menghadapi
quota import yang diterapkan oleh sistem perekonomian Amerika.
· Hambatan
Dumping
Meskipun
karakteristiknya tidak seperti Tarif dan Quota, namun dumping sering menjadi
suatu masalah bagi suatu negara dalam proses perdagangan luar negrerina,
seperti yang dialami baru-baru ini (akhir 1996), di mana industri sepeda
Indonesia dituduh melakukan politik dumping. Dumping sendiri diartikan sebagai
suatu tindakan dalam menetapkan harga yang lebih murah di luar negeri dibanding
harga di dalam negeri untuk produk yang sama.
· Hambatan
Embargo/ Sanksi Ekonomi
Sejarah
membuktikan bahwa suatu negara yang karena tindakannya dianggap melanggar hak
asasi manusia, melanggar wilayah kekuasaan suatu negara, akan menerima/
dikenakan sanksi ekonomi oleh negara yang lain (PBB). Contoh yang masih hangat
di telinga adalah kasus Intervensi Irak, kasus Libia, dan masih banyak lagi.
Akibat dari hambatan yang terakhir ini biasanya lebih buruk dan meluas bagi
masyarakat yang terkena sanksi ekonomi daripada akibat yang ditimbulkan oleh
hambatan—hambatan perdagangan lainnya.
Mengapa Pemerintah Menerapkan Hambatan Perdagangan?
Banyak
alasan yang mendorong pemerintah menerapkan kebijaksanaan hambatan perdagangan,
di antaranya adalah:
Tarif dan
quota di samping untuk mrningkatkan pendapatan negara dari sektor luar negeri,
dipergunakan untuk lebih menyeimbangkan keadaan neraca pembayaran yang masih
defisit. Dengan dikenakannya tarif atau quota pengeluaran untuk membeli
komoditi impor menjadi berkurang sehingga dapat mengurangi pos pengeluaran
dalam neraca pembayaran.
Tarif dan
quota juga diterapkan untuk melindungi industri dalam negeri yang masih dalam
taraf berkembang, dari serangan komoditi-komoditi asing yang telah lebih dahulu
‘dewasa’. Hal ini perlu dilakukan mengingat seringkali di negara berkembang
(seperti Indonesia misalnya) masih banyak industri yang masih belum dapat
berproduksi secara efisien sehingga produk yang dihasilkan belum dapat bersaing
dengan produk sejenis yang berasal dari luar negeri. Untuk itulah tarif atau
quota diterapkan. Dapat juga kebijaksanaan ini diterapkan jika suatu negara
tidak memiliki persediaan devisa yang cukup untuk melakukan impor sehingga
pemerintah harus menghemat devisa tersebut.
Tarif dan
quota juga diterapkan untuk mempertahankan tingkat kemakmuran yang telah
dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat suatu negara. Berkembangnya industri di
dalam negeri memberi dampak positif bagi banyak pihak, seperti produsen,
karyawannya, termasuk konsumen. Dengan hadirnya produk sejenis dari luar negeri
dikhawatirkan akan merusak kondisi tersebut karena dalam jangka waktu tertentu
industri dalam negeri akan menghadapi persaingan yang semakin berat sehingga
dimungkinkan terjadi kemunduran perusahaan, yang berarti kemunduran kemakmuran
pihak-pihak yang terkait. Untuk mengantisipasi keadaan ini, maka digunakanlah
kebijaksanaan tarif dan quota ini.
Adapun
dumping jika terpaksa ditempuh (sering kemudian menjadi masalah antar negara)
digunakan untuk memacu perkembangan ekspor lewat kenaikan permintaan
dikarenakan harga yang murah tersebut. Meskipun dalam jangka pendek industri
dalam negeri (pengekspor) akan rugi dengan menetapkan harga di bawah harga
sesungguhnya, namun dalam jangka panjang diharapkan dapat tertutupi dengan
peningkatan penjualan yang sangat besar.
Sedangkan
sanksi ekonomi diterapkan lebih dikarenakan untuk menyelesaikan masalah-masalah
yang berkaitan dengan HAM, politik, terorisme, dan kemananan Internasional.
Bagi negara yang terkena sanksi diharapkan dapat memperbaiki ‘sikap’ dan
‘tindakannya’ bagi kepentingan negara lain dan bagi dunia.
3. NERACA PEMBAYARAN LUAR NEGERI INDONESIA
Seperti
halnya bentuk neraca keuangan lazimnya, maka neraca pembayaran luar negeri
Indonesia juga merupakan suatu bentuk pelaporan yang sistematis mengenai segala
transaksi ekonomi yang diakibatkan oleh adanya kebijaksanaan dan kegiatan
ekonomi di sektor luar negeri. Dengan demikian dalam neraca ini juga terdapat
pos yang merupakan arus dana masuk (umumnya ditandai dengan +) dan ada pos yang
merupakan arus dana keluar (ditandai dengan -).
Namun
demikian secara singkat pos-pos dalam neraca pembayaran luar negeri Indonesia
tersebut dapat dikelompokkan ke dalam berikut ini:
a. Neraca perdagangan, yang merupakan
kelompok transaksi-transaksi yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor
barang, baik migas maupun non-migas.
b. Neraca jasa, merupakan kelompok transaksi-transaksi
yang berkaitan dengan kagiatan ekspor-impor di bidang jasa.
c. Neraca berjalan, merupakan hasil
penggabungan antara neraca perdagangan dan neraca jasa. Jika lebih banyak pos
arus kas masuknya (ekspor) maka nilai neraca berjalan ini akan surplus, begitu
pula sebaliknya.
d. Neraca lalu lintas modal, merupakan
kelompok pos-pos yang berkaitan dengan lalu lintas modal pemerintah bersih
(selisih antara pinjaman dan pelunasan hutang pokok) dan lalu lintas modal
swasta bersih, berikut lalu lintas modal bersih lainnya yang merupakan selisih
penerimaan penanaman modal asing dengan pembayaran BUMN.
e. Selisih
yang belum diperhitungkan.
f. Neraca
lalu lintas moneter, yang merupakan kelompok pos-pos yang berkaitan dengan
perubahan cadangan devisa.
4. PERAN KURS VALUTA ASING
Kurs valuta
asing sering diartikan sebagai banyaknya nilai mata uang suatu negara (Rupiah
misalnya) yang harus dikorbankan/ dikeluarkan untuk mendapatkan satu unit mata
uang asing (dollar misalnya). Sehingga dengan kata lain, jika kita gunakan
contoh Rupiah dan Dollar, maka kurs valuta asing adalah nilai tukar yang
menggambarkan banyaknya Rupiah yang harus dikeluarkan untuk mendapat satu unit
Dollar dalam kurun waktu tertentu. Masalah kurs valuta asing mulai muncul
ketika transaksi ekonomi sudah mulai melibatkan dua negara (mata uang) atau
lebih, tentunya sebagai alat untuk menjembatani perbedaan mata uang di
masing-masing negara.
Sebelum
lebih jauh kita bahas mengenai kurs valuta asing, perlu kiranya dijelaskan
lebih dahulu beberapa istilah yang biasanya dikaitkan dengan kurs valuta asing
tersebut, yaitu:
Depresiasi , adalah turunnya nilai tukar Rupiah
terhadap mata uang asing (Dollar). Misalnya tadi 1 $ = Rp 2.350,- menjadi 1 $ =
Rp 2.400,-. Dengan kata lain depresiasi Rupiah menyebabkan semakin banyak Rupiah
yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan 1 unti Dollar.
Apresiasi, adalah kebalikan dari Depresiasinya
Rupiah. Dengan demikian jika Rupiah mengalami depresiasi (mengalami penurunan
nilai) maka mata uang Dollar akan Apresiasi.
Spot
Rate, adalah nilai tukar yang
masa berlakunya hanya dalam waktu 2×24 jam saja. Sehingga jika sudah
melewati batas waktu di atas maka nilai tukar tersebut sudah tidak berlaku
lagi. Sebagai contoh, jika pada tanggal 15 Desember 1996 kurs 1 $ = Rp 2.350,-
maka setelah tanggal 18 Desember 1996 misalnya, maka kurs tersebut sudah tidak
berlaku lagi.
Banyak
orang awam mengira kurs (nilai tukar) Dollar terhadap Rupiah saat ini tidak
adil. Orang Amerika dengan hanya membawa 1 $, datang ke Indonesia akan mendapat
±
Rp 2.300,-. Sebaliknya orang Indonesia jika ingin ke Amerika harus mengorbankan
±
Rp 2.300,- hanya untuk mendapatkan 1 unit mata uang mereka ( 1 $).
Sulit untuk
mendapatkan informasi kapan pertama kali dan dengan nilai berapa Dollar
dihargai dengan mata uang Rupiah. Lepas dari semua itu, perubahan kurs suatu
mata uang terhadap mata uang lainnya secara prinsip hanya disebabkan karena
adanya perubahan kekuatan permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing
yang akan dipertukarkan, yang sebenarnya identik dengan kekuatan permintaan dan
penawaran akan komoditi yang diperdagangkan. Jadi yang paling penting adalah
mengetahui dan mencoba memperbaiki sebab-sebab terjadinya perubahan kedua
kekuatan tersebut.