1. PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN INDONESIA
Dari segi
perencanaan pembangunan di Indonesia, APBN adalah merupakan konsep perencanaan
pembangunan yang memiliki jangka pendek, karena itulah APBN selalu disusun
setiap tahun.
Seperti
namanya, maka secara garis besar APBN terdiri dari pos-pos seperti di bawah
ini:
· Dari sisi penerimaan, terdiri dari pos
penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan
· Sedangkan dari sisi pengeluaran terdiri dari pos
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan
APBN
disusun agar pengalokasian dana pembangunan dapat berjalan dengan memperhatikan
prinsip berimbang dan dinamis. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat tabungan
pemerintah yang berasal dari selisih antara penerimaan dalam negeri dengan
pengeluaran rutin, belum sepenuhnya menutupi kebutuhan biaya pembangunan di
Indonesia.
Meskipun
dari PELITA ke PELITA jumlah tabungan pemerintah sebagai sumber pembiayaan
pembangunan terbesar, terus mengalami peningkatan (lihat tabel 5.1.), namun
kostribusinya terhadap keseluruhan dana pembangunan yang dibutuhkan masih jauh
dari yang diharapkan. Dengan kata lain ketergantungan dana pembangunan terhadap
sumber lain, dalam hal ini pinjaman luar negeri, masih cukup besar. Namun
demikian mulai tahun terakhir PELITA I, presentase tabungan pemerintah sudah
mulai lebih besar dibanding pinjaman luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari
peranan sektor migas yang saat itu sangat dominan, serta dengan dukungan
beberapa kebijaksanaan pemerintah dalam masalah perpajakan dan upaya
peningkatan penerimaan negara lainnya.
Untuk menghindari
terjadinya defisit anggaran pembangunan, Indonesia masih mengupayakan sumber
dana dari luar negari, dan meskipun IGGI (Inter Governmental Group on
Indonesian) bukan lagi menjadi forum Internasional yang secara formal membantu
pembiayaan pembangunan di Indonesia, namun dengan lahirnya CGI (Consoltative
Group on Indonesian) kebutuhan pinjaman luar negeri sebagai dana pembangunan
masih dapat diharapkan.
Yang perlu
diingat, bahwa sebaiknya pinjaman tersebut ditempatkan sebagai pelengkap
pembangunan dan peran tabungan pemerintahlah yang tetap harus dominan, bukan
sebaliknya.
TABEL 5.1.
TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/70 – 1992/93
(dalam miliar rupiah)
TAHUN
ANGGARAN
|
JUMLAH
|
KENAIKAN
(+)
PENURUNAN
(-)
|
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
|
27,2
53,9
78,9
152,5
254,4
|
+ 26,7
+ 22,5
+ 73,6
+ 101,9
|
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
|
737,6
909,3
1.276,2
1.386,5
1.522,4
|
+ 483,2
+ 171,7
+ 366,9
+ 110,3
+ 135,9
|
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
|
2.635,0
4.427,0
5.235,0
5.422,0
6.020,9
|
+
1.112,6
+1.792,0
+ 808,0
+ 187,0
+ 598,8
|
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
|
6.476,5
7.301,3
2.581,3
3.321,8
2.265,3
|
+ 455,6
+ 824,8
-
4.720,0
|
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93*)
|
4.408,7
9.548,7
11.357,2
13.311,8
|
+
2.143,4
+
5.140,0
+
1.808,5
+
1.954,6
|
TABEL 5.2.
PENGELUARAN
PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIAYAAN
1969/70 – 1992/93*
(dalam miliar
rupiah)
TAHUN
|
TABUNGAN PEMERINTAH
|
%
|
BANTUAN LUAR NEGERI
|
%
|
JUMLAH**
|
%
|
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
|
27,2
53,9
78,9
152,5
254,4
|
23,0
31,9
36,8
49,1
55,5
|
91,0
120,4
135,5
157,8
203,9
|
77,0
68,1
50,9
50,9
44,5
|
118,2
176,8
214,4
310,3
458,3
|
100
100
100
100
100
|
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
|
737,6
909,3
1.276,2
1.386,5
1.522,4
|
76,1
64,9
62,0
64,2
59,6
|
232,0
491,6
783,8
773,4
1.035,5
|
23,9
35,1
38,0
35,8
40,4
|
969,6
1.400,9
2.060,0
2.159,9
2.557,9
|
100
100
100
100
100
|
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
|
2.635,0
4.427,0
5.235,0
5.422,0
6.020,9
|
65,6
74,8
75,4
73,6
60,8
|
1.381,1
1.493,8
1.709,0
1.940,0
3.882,4
|
34,4
25,2
24,6
26,4
39,2
|
4.016,1
5.920,8
6.944,0
7.362,0
9.903,3
|
100
100
100
100
100
|
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
|
6.476,5
7.301,3
2.581,3
3.321,8
2.265,3
|
65,1
67,1
31,0
35,0
18,5
|
3.748,0
3.572,6
5.752,2
6.158,0
9.990,7
|
34,9
32,9
69,0
65,0
81,5
|
9.954,4
10.873,9
8.333,5
9.479,8
12.256,0
|
100
100
100
100
100
|
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93***)
|
4.408,7
9.548,7
11.357,2
13.311,8
|
31,9
49,1
52,2
58,1
|
9.429,3
9.904,6
10.409,1
9.600,2
|
68,1
50,9
47,8
41,9
|
13.838,0
19,453,3
21.766,3
22.912,0
|
100
100
100
100
|
* Untuk
tahun 1969/70 – 1991/92 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun
yang bersangkutan
** Termasuk
saldo anggaran lebih
*** APBN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari tabel 5.2.
diantaranya adalah:
· Kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah dengan
mengupayakan tambahan sumber dana pembangunan sudah cukup tepat. Hal ini
disebabkan resiko yang harus dihadapi dengan pinjaman luar negeri tersebut
relatif lebih ringan dibandingkan dengan resiko jika pemerintah menutup
kekurangan anggaran pembangunannya dengan melakukan peminjaman kepada Bank
Sentral (BI).
· Resiko yang dihadapi pemerintah dan masyarakat
jika kekurangan dibiayai dengan pinjaman Bank Sentral, bahwa ada kemungkinan
Bank Sentral akan mencoba memenuhi pinjaman tersebut dengan cara mencetak uang
baru. Akibatnya jumlah uang yang beredar terlalu besar dari yang sebenarnya
dibutuhkan. Jika pencetakan uang baru tersebut tidak diimbangi dengan
peningkatan produksi dan tersedianya komoditi kebutuhan masyarakat, yang akan
terjadi adalah kecenderungan kenaikan harga, yang berarti laju inflasi akan
meningkat (ingat bahwa inflasi merupakan salah satu dari tiga penyakit pokok
perekonomian yang perlu diwaspadai).
· Adapun resiko jika kekurangan dana ditutupi
dengan pinjaman luar negeri adalah adanya kewajiban mengembalikan pinjaman
tersebut berikut bunganya, hal ini akan semakin ringan jika sifat pinjamannya
adalah lunak dan jangka waktunya cukup panjang. Namun perlu diingat bahwa
besarnya pinjaman tersebut dalam mata uang kita sangat dipengaruhi oleh
konjungtur perekonomian dunia (kurs mata uang dolar terutama).
· Pada awal PELITA, ternyata gabungan pemerintah
masih sangat kecil peranannya (23%) dalam membiayai pembangunan di Indonesia,
di mana sumber pembiayaan terbesar masih diperoleh dari pinjaman pinjaman luar
negeri (77%). Keadaan ini berbalik pada periode pertengahan PELITA III, di mana
rata-rata peran tabungan pemerintah adalah 74%. Hal ini dapat dimengerti
mengingat saat itu harga minyak bumi di pasar Internasional sangat baik,
sehingga banyak dana masuk ke Indonesia melalui sektor migas tersebut.
· Namun jika kita perhatikan periode akhir PELITA
IV, kondisi tabungan pemerintah sangat mengkhawatirkan, tercatat kontribusi
tabungan pemerintah kepada dana pembangunan selama tiga tahun terakhir adalah
35,0%; 18,5%; dan 31,9%. Penyebab terjadinya kemerosotan tabungan pemerintah
tersebut di antaranya adalah:
1. Terjadinya resesi dunia yang mengakibatkan
turunnya harga minyak bumi, dan beberapa komoditi non-migas di pasaran dunia,
hal ini berpengaruh terhadap turunnya penerimaan dalam negeri Indonesia.
2. Merosotnya nilai mata uang dolar Amerika
(depresasi) terhadap mata uang asing, seperti Yen Jepang dan DM Jerman Barat.
Karena nilai rupiah ternyata masih dikaitkan dengan dolar Amerika tersebut,
maka perekonomian Indonesia-pun ikut dirugikan dengan kejadian tersebut.
Untuk memberi ilustrasi terhadap pengaruh depresiasi
dolar terhadap perekonomian Indonesia, kita gunakan kasus di bawah ini:
1. Dengan depresiasi dolar tersebut nilai beban
hutang luar negeri kita terhadap Jepang (misalnya) akan menjadi bertambah
besar, karena jika:
Keadaan Sebelum
Depresiasi
Indonesia memiliki hutang luar negeri kepada Jepang,
dalam bentuk mata uang Yen sebesar 1.000.000 Y, di mana kurs saat itu
diasumsikan:
1$ = Rp 1.500,-
1$ = 25 Y
Untuk mengetahui nilai hutang Indonesia dalam rupiah,
kita lakukan perhitungan ‘cross rate’ antara Rupiah dan Yen, perhitungannya:
Cross Rate Rp/Y = Rp/$ × $/Y = 1.500/1 ×
1/25 = 60
Jadi untuk 1 Y akan dihargai Rp 60,-.
Dan karena itu memiliki hutang sebesar 1.000.000 Y,
maka nilai hutang tersebut dalam rupiah adalah: 1.000.000 Y ×
Rp 60,- = Rp 60.000.000
Keadaan Setelah
Depresiasi Dolar
1$ = Rp 1.500,-
1$ = 20 Y (dolar merosot nilainya, artinya diperlukan
lebih sedikit Yen untuk mendapatkan dolar)
Cross Rate Rupiah tehadap Yen = Rp/Y = Rp/$ x $/Y =
1.500/1 x 1/20 = Rp 75/Y
Artinya setelah terjadi depresiasi dolar, nilai 1 Yen
Jepang sama dengan Rp 75,- dengan kata lain mata uang Rupiah-pun mengalami
depresiasi terhadap Yen. Sehingga nilai hutang Indonesia saat itu menjadi:
1.000.000 Y x Rp 75,- = Rp 75.000.000,-
Kesimpulannya adalah, bahwa dengan merosotnya nilai
dolar terhadap Yen, maka akan menyebabkan nilai hutang luar negeri kita
terhadap Jepang ikut membengkak sebesar Rp 15.000.000,- (Rp 75.000.000 – Rp
60.000.000).
2. Dengan depresiasi dolar itu akan menyebabkan
juga semakin mahalnya komoditi-komoditi impor yang berasal dari Jepang. Sebagai
contoh: Jika kita akan mengimpor 1.000 unit komponen mesin seharga 5.000 Y,
maka:
· Sebelum depresiasi dolar, kita cukup
mengeluarkan 5.000 Y x Rp 60,- = Rp 300.000,- untuk mendapatkan 1.000 unit
komponen mesin tersebut.
· Namun setelah terjadi depresiasi kita harus
mengeluarkan 5.000 Y x Rp 75,- = Rp 375.000,- untuk mendapatkan komponen
tersebut. Artinya kita harus mengeluarkan dana tambahan sebesar Rp 75.000,-
untuk tiap 1.000 unit komponen mesin.
Dari kedua ilustrasi sederhana di atas terlihat
bagaimana kondisi perekonomian luar negeri saat itu sangat mempengaruhi
perekonomian kita. Sehingga dapat dimengerti mengapa pada periode tersebut
tabungan pemerintah mengalami penurunan yang cukup drastis.
Langkah pemerintah untuk memperbaiki keadaan anggaran
pembangunan tersebut antara lain dengan menerapkan prinsip anggaran yang
berimbang dan dinamis. Berimbang dalam arti pemerintah berusaha bahwa
pengeluaran pemerintah akan selalu disesuaikan dengan penerimaannya. Sedangkan
dinamis diartikan bahwa akan selalu diusahakan adanya peningkatan yang terus
menerus terhadap penerimaan negara sesuai dengan peningkatan kegiatan
pembangunan di Indonesia.
Langkah lainnya adalah dengan selalu bertumpu pada
TRILOGI PEMBANGUNAN dalam setiap perencanaan pembangunan yang akan dilakukan.
2. PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN
Secara
garis besar proses penyusunan anggaran pembangunan di Indonesia dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
TABEL
5.3.
GAMBARAN
UMUM
PROSES
PENYUSUNAN ANGGARAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA
NO.
|
KEGIATAN
|
||||||||||
SEPT-OKT
|
NOV
|
DES
|
JAN
|
FEB
|
MAR
|
APRIL
|
s/d MEI
|
||||
1.
|
Pengajuan DUP/DUK
DEPT/LPND ke BAPPENAS
|
||||||||||
2.
|
Penyusunan satuan 3
oleh Biro Sektor, BAPPENAS
|
||||||||||
3.
|
Penentuan Platfon
Anggaran (RAPBN TA. 1993/1994)
|
||||||||||
4.
|
Nota Keuangan dan
RAPBN diajukan ke DPR oleh Presiden RI (Minggu pertama Januari)
|
||||||||||
5.
|
Pembahasan/
Penyusunan satuan 3/A dan alokasi dana proyek ke DIP (Ditjen Anggaran
BAPPENAS-Pimpro Bendaharawan Proyek)
|
||||||||||
6.
|
Penyampaian DIP ke
daerah (Gubernur Kepala Daerah)
|
Tabel 5.3. di atas dapat
dijelakan sebagai berikut:
· Penyusunan anggaran biasanya menggunakan tahun
fiskal dan bukan tahun masehi, sehingga proses penyusunan oleh Dapertemen atau
Lembaga pemerintah Non Dapertemen sudah dimulai pada tanggal 1 April tahun yang
bersangkutan. Oleh keduanya usulan rencana anggaran diajukan dalam bentuk
Daftar Usulan Kegiatan (DUK) bagi anggaran rutin dan dalam bentuk Daftar Usulan
Proyek (DUP) untuk anggaran pembangunan.
· Selanjutnya DUK dan DUP tersebut, antara bulan
Agustus dan September akan diajukan dengan dan disampaikan ke BAPPENAS dan
Ditjen Anggaran Dapertemen Keuangan. Selanjutnya DUK dan DUP tersebut akan
diproses oleh BAPPENAS antara bulan Oktober hingga November.
· Pada proses tersebut BAPPENAS akan menyesuaikan
isi DUK dan DUP dengan perkiraan penerimaan dalam negeri dalam tahun anggaran
yang bersangkutan. Selanjutnya dalam bulan Desember akan ditentukan batas atas
(plafon) anggaran untuk tahun anggaran yang bersangkutan dalam bentuk RAPBN
(Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
· Pada bulan Januari, setelah RAPBN tersebut
dilampiri/ disertai keterangan dari pemerintah dengan Nota-Keuangan, akan
disampaikan oleh Presiden dihadapan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat guna
mendapat persetujuan seperti yang tersirat dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
· Selanjutnya RAPBN tersebut akan dibahas oleh DPR
bersama-sama dengan Menteri atau Ketua Lembaga yang bersangkutan melalui Rapat
Kerja Komisi APBN.
· Jika dalam pembahasan tersebut dicapai suatu
kesepakatan (persetujuan) maka RAPBN untuk tahun anggaran yang bersangkutan
tersebut, persetujuannya akan dituangkan dalam UU tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara tahun Anggaran.../...
· Selanjutnya anggaran yang telah disetujui
pemerintah tersebut akan dituangkan kembali dalam bentuk Daftar Isian Proyek
(DIP) Dapertemen atau Lembaga Pemerintah yang bersangkutan.
3. PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA
Secara
garis besar sumber penerimaan negara berasal dari:
a. Penerimaan
dalam negeri
Pertama,
penerimaan dalam negeri, untuk tahun-tahun awal setelah masa pemerintahan Orde
Baru masih cukup menguntungkan pada penerimaan dari ekspr minyak bumi dan gas
alam. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 5.4. berikut ini:
TABEL
5.4.
PERBANDINGAN
SUMBER PENERIMAAN DALAM NEGERI, PELITA I-III
(dalam
persentase)
PERIODE
|
PENERIMAAN DARI
SEKTOR MIGAS
|
PENERIMAAN DARI
SEKTOR NON-MIGAS
|
PENERIMAAN BUKAN
PAJAK
|
PENERIMAAN TOTAL
|
PELITA I
1969/70 –
1973/74
|
35.7 %
|
59,3 %
|
5,0 %
|
100 %
|
PELITA I
1974/75 –
1978/79
|
55,1 %
|
40,7 %
|
4,2 %
|
100 %
|
PELITA I
1979/80 –
1983/84
|
67,2 %
|
29,6 %
|
3,2 %
|
100 %
|
Namun
dengan mulai tidak menentunya harga minyak dunia, maka mulai disadari bahwa
ketergantungan dari sektor migas perlu dikurangi. Untuk keperluan itu, maka
pemerintah menempuh beberapa kebijaksanaan di antaranya:
· Deregulasi bidang Perbankan (1Juni 1983), yakni
dengan mengurangi peran Bank Sentral, serta lebih memberi hak kepada Bank
Pemerintah maupun Swasta untuk menentukan suku bunga deposito dan pinjaman
sendiri. Dampak dari deregulasi ini adalah meningkatnya tabungan masyarakat.
· Deregulasi bidang perpajakan (UU baru, 1 Januari
1984), untuk memperbaiki penerimaan negara.
· Kebijaksanaan-kebijaksanaan lain yang
selanjutnya dapat menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan mantap.
b. Penerimaan
pembangunan
Meskipun
telah ditempuh berbagai upaya untuk meningkatkan tabungan pemerintah, namun
karena laju pembangunan yang demikian cepat, maka dana tersebut masih perlu
dilengkapi dengan dan ditunjang dengan dana yang berasal dari luar negeri.
Meskipun untuk selanjutnya bantuan luar negeri (hutang bagi Indonesia) tersebut
makin meningkat jumlahnya, namun selalu diupayakan suatu mekanisme pemanfaatan
dengan prioritas sektor-sektor yang lebih produktif. Dengan demikian bantuan
luar negeri tersebut dapat dikelola dengan baik (terutama dalam hal pengembalian
cicilan pokok dan bunganya).
4. PERKIRAAN PENGELUARAN
Secara
garis besar, pengeluaran negara dikelompokkan menjadi dua yakni:
· Pengeluaran rutin
Pengeluaran
rutin negara, adalah pengeluaran yang dapat dikatakan selalu ada dan telah
terencana sebelumnya secara rutin, di antaranya:
a. Pengeluaran
untuk belanja pegawai
b. Pengeluaran
untuk belanja barang
c. Pengeluaran
untuk subsidi daerah otonom
d. Pengeluaran
untuk membayar bunga dan cicilan hutang
e. Pengeluaran
lain-lain
·
Pengeluaran pembangunan
Secara
garis besar, yang termasuk dalam pengeluaran pembangunan di antaranya adalah:
a. Pengeluaran
pembangunan untuk berbagai departemen/ lembaga negara, di antaranya untuk
membiayai proyek-proyek pembangunan sektoral yang menjadi tanggung jawab
masing-masing departemen/ lembaga negara bersangkutan.
b. Pengeluaran
pembangunan untuk anggaran pembangunan daerah (Dati I dan II).
c. Pengeluaran
pembangunan lainnya.
5. DASAR PERHITUNGAN PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA
Untuk
memperoleh hasil perkiraan penerimaan negara, ada beberapa hal pokok yang harus
diperhatikan. Hal-hal tersebut adalah:
· Penerimaan
dalam negeri dari migas
Faktor-faktor
yang dipertimbangkan adalah:
a. Produksi
minyak rata-rata per hari
b. Harga
rata-rata ekspor minyak mentah
·
Penerimaan
dalam negeri di luar migas
Faktor-faktor
yang dipertimbangkan adalah:
a. Pajak
penghasilan
b. Pajak
pertambahan nilai
c. Bea
masuk
d. Cukai
e. Pajak
ekspor
f. Pajak bumi dan bangunan
g. Bea
materai
h. Pajak
lainnya
i. Penerimaan bukan pajak
j. Penerimaan dari hasil penjualan BBM
· Penerimaan
pembangunan
Terdiri
dari penerimaan bantuan program dan bantuan proyek.
digital book ATA 2011-2012
No comments:
Post a Comment