Tuesday, May 29, 2012

MINGGU 11 & 12 KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

1.   KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH SELAMA
Di dalam menjalankan fungsinya sebagai pelaku ekonomi yang memiliki fungsi prioritas sebagai dinamisator dan stabilisator, maka pemerintah perlu merencanakan dan melaksanakan tindakan-tindakan yang berkesinambungan guna menyiapkan, mengarahkan kegiatan ekonomi di Indonesia. Tindakan-tindakan itulah yang yang kemudian lebih dikenal dengan kebijksanaan pemerintah di bidang ekonomi. Meskipun demikian kebijaksanaan di bidang lain tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi itu sendiri.
Sebelum dibahas mengenai kebijaksanaan pemerintah yang saat ini ada, perlu kiranya dilihat perkembangan dan sejarah kebijaksanaan pemerintah yang pernah dilaksanakan dalam perekonomian Indonesia, khususnya setelah masa Orde Baru berjalan. Beberapa kebijaksanaan yang cukup menonjol sejak Orde Baru berjalan diantaranya adalah:

A.PERIODE 1966-1969
Kebijaksanaan pemerintah pada masa ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua sektor dari unsur-unsur peninggalan pemerintah Orde Lama, terutama paham komunis. Selain itu masa ini juga diisi dengan kebijaksanaan pemerntah dalam mengupayakan penurunan tingkat inflasi yang masih tinggi. Kebijaksanaan ini cukup berhasil menekan inflasi dari ± 650% menjadi ± 10% saja, suatu prestasi ekonomi yang tidak kecil.

B.PERIODE PELITA I
Kebijaksanaan pada periode Pelita Pertama ini dimulai dengan:
·  Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai penyempurnaan tata niaga bidang ekspor dan impor
·  Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang Rupiah terhadap Dollar, dengan sasaran pokoknya adalah:
Kestabilan harga bahan pokok
Peningkatan nilai ekspor
Kelancaran impor
Penyebaran barang di dalam negeri

C.PERIODE PELITA II
Periode ini diisi dengan kebijaksanaan mengenai:
Perkreditan untuk mendorong para eksportir kecil dan menengah, di samping untuk mendorong kemajuan pengusaha kecil/ ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil (KIK).
· Kebijaksanaan Fiskal, dengan cara penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing komoditi ekspor di pasar dunia,  serta untuk menggalakkan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri guna mendorong investasi dalam negeri. Hasil dari kebijaksanaan ini di antaranya adalah:
a.     Naiknya cadangan devisa dari $ 1,8 milyar menjadi $ 2,58 milyar
b.    Naiknya tabungan pemerintah dari Rp 225 milyar menjadi Rp 1.522 milyar
·  Kebijaksanaan 15 Nopember 1978 (KNOP 15), yakni kebijaksanaan di bidang moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi nasional, serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor, yang pada masa ini menjadi lemah karena:
1.  Adanya inflasi yang besarnya rata-rata 34%, sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi mahal di pasar dunia, akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain.
2.  Adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979

Di samping itu KNOP 15 juga didukung oleh kebijaksanaan devaluasi Rupiah dari Rp 415/$ menjadi Rp 625/$. Kebijaksanaan lain yang mendukung pada periode ini adalah dengan diturunkannya Bea Masuk untuk komoditi impor yang merupakan komoditi bahan penolong, serta dengan menaikkan Bea Masuk untuk komoditi impor lainnya.

D. PERIODE PELITA III
Periode ini diwarnai dengan devisitnya neraca perdagangan Indonesia, yang disebabkan karena diterapkannya tindakan proteksi dan kuota oleh negara-negara pasaran komoditi ekspor Indonesia. Adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang sempat dikeluarkan dalam periode ini adalah:
·   Paket Januari 1982, yang berisi mengenai tata cara pelaksanaan ekspor-impor, dan lalu lintas devisa. Di dalam kebijaksanaan ini diterapkan kemudahan dalam hal pajak yang dikenakan terhadap komoditi ekspor, serta kemudahan dalam hal kredit untuk komoditi ekspor. Kebijaksanaan ini kurang membawa hasil, dikarenakan terjadinya resesi dunia yang juga belum berakhir.
· Paket kebijaksanaan imbal beli (counter purchase), yang dikeluarkan untuk menunjang kebijaksanaan paket Januari di atas. Dalam kebijaksanaan ini tersirat keharusan eksportir maupun importir luar negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama. Ternyata kebijaksanaan ini pun masih kurang berhasil, karena resesi dunia tersebut. Dengan adanya resesi tersebut menyebabkan naiknya tingkat inflasi, sehingga tabungan masyarakat menurun, dana untuk investasi menjadi berkurang. Akibat lebih jauhnya adalah turunnya produktivitas dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi menjdi berkurang.
· Kebijaksanaan Devaluasi 1983, yakni dengan menurunnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar dari Rp 625/$ menjadi Rp 970/$, dengan harapan:
a.  Gairah ekspor dapat meningkat, sehingga penerimaan negara menjadi lebih banyak
b. Komoditi ekspor menjadi lebih mahal, karena diperlukan lebih banyak rupiah untuk mendapatkannya. Dengan demikian diharapkan industri dalam negeri dapat berkembang untuk meningkatkan produktivitas. Akibatnya penerimaan pemerintah dari sektor pajak pun dapat ditingkatkan.

E.PERIODE PELITA IV
Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang lahir dalam periode ini adalah:
·  Kebijaksanaan INPRES No. 4 Tahun 1985, kebijaksanaan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan ekspor non-migas. Sedangkan di pihak lain masih banyak ditemui hambatan, seperti sarana pelabuhan yang masih “semrawut” dan munculnya ekonomi biaya tinggi. Tindakan yang diambil untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi adalah:
a.  Memberantas pungutan liar
b. Mempermudah prosedur ke-Pabeanan
c.  Menghapus dan memberantas biaya-biaya siluman
·  Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 (PAKEM), yang dikeluarkan dengan tujuan untuk mendorong sektor swasta di bidang ekspor maupun di bidang penanaman modal.
·  Paket Devaluasi 1986, tindakan ini ditempuh karena jatuhnya harga minyak di pasaran dunia yang megakibatkan penerimaan pemerintah turun. Kebijaksanaan kali ini didukung dengan dilaksanakannya pinjaman luar negeri.
· Paket kebijaksanaan 25 oktober 1986, yang merupakan deregulasi di bidang perdagangan, moneter, dan penanaman modal, dengan cara melakukan:
a.   Penurunan Bea Masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku
b.  Proteksi produksi yang lebih efeisien
c.  Kebijaksanaan penanaman modal
·  Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987, dengan melakukan peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa sektor industri (menengah ke atas) dalam rangka meningkatkan ekspor non migas. Langkah yang ditempuh di antaranya adalah:
a.   Penyempurnaan dan penyederhanaan ketentuan impor
b.  Pembebasan dan keringanan dalam Bea masuk
c.   Penyempurnaan klasifikasi barangnya
· Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES), dengan melakukan restrukturisasi bidang ekonomi, terutama dalam usaha memperlancar perizinan (deregulas).
·   Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988, yakni kebijaksanaan deregulasi untuk menggairahkan pasar modal dan untuk menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
·     Paket Kebijaksanaan 21 November 1988 (PAKNOV), dengan melakukan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan dan hubungan laut.
·    Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES), yakni kebijaksanaan di bidang keuangan dengan memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif. Selain iu, kebijaksanaan juga berisi mengenai deregulasi dalam hal pendirian perusahaan asuransi.

F.    PERIODE PELITA V
Kebijaksanaan pemerintah selama Pelita V lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian, dan upaya kondusif guna mempersiapkan proses tinggal landas menuju rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua.


2. KEBIJAKSANAAN MONETER
Adalah sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui peredaran uang dan tingkat suku bunga. Kebijaksanaan ini ditempuh untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh baik yang positif atau sebaliknya, dari peredaran uang dan tingkat suku bunga yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena peran uang yang begitu vital dalam kehidupan perekonomian suatu negara, begitu pula pentingnya tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi pola kegiatan investasi di Indonesia.
Di dalam sistem perekonomian Indonesia, kebijaksanaan moneter ini dijalankan oleh pemerintah melalui lembaga keuangan yang disebut dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia seperti halnya di negara-negara lainnya, adalah satu-satunya bank sentral di Indonesia yang secara lebih rinci memiliki tugas:
·      Sebagai bank-nya pemerintah, yaitu membantu pemerintah dalam mengelola (menyimpan dan meminjami) dana pemerintah yang akan dipergunakan untuk pembangunan
·      Sebagai bank-nya bank umum, yaitu membantu para bank umum dalam kegiatan operasional dana yang dimiliki atau dibutuhkannya
·      Sebagai lembaga pengawasan kegiatan lembaga keuangan, yaitu mengawasi produk-produk yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga keuangan yang dapat mempengaruhi peredaran uang dan iklim investasi
·      Bersama lembaga pemerintah terkait lainnya bertugas sebagai lembaga pengawas kegiatan ekonomi di sektor luar negeri
·      Memperlancar kegiatan perekonomian dengan cara mencetak uang kartal (kertas dan logam)

Dilihat dari upaya yang ditempuh, kebijaksanaan moneter ini dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis kebijaksanaan moneter, yakni:
a.    Kebijaksanaan Moneter Kuantitatif
Sesuai dengan namanya jenis kebijaksanaan moneter ini dijalankan dengan mengatur uang beredar dan tingkat suku bunga dari segi kuantitasnya. Kebijaksanaan jenis ini umumnya dijalankan dengan tiga cara, yaitu:

Pertama, dengan melakukan operasi pasar terbuka, yakni dengan memperjual-belikan surat-surat berharga (SBI) yang dimiliki oleh Bank Indonesia, dengan harapan uang yang yang beredar akan menjadi lebih banyak atau menjadi lebih sedikit sesuai yang diperlukan dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Proses operasi pasar terbuka ini dapat dilihat dalam ilustrasi berikut:

Ilustrasi 1
Dengan asumsi bahwa uang yang beredar di Indonesia suatu saat dianggap terlalu banyak sehingga dikhawatirkan akan memacu timbulnya spekulasi dan inflasi, maka Bank Indonesia memutuskan akan menarik sebagian uang yang beredar dengan jalan menjual surat-surat berharga yang masih dimilikinya. Untuk itu Bank Indonesia akan menjual surat berharga senilai Rp 0,5 trilyun. Adapun data mengenai uang yang beredar dapat dilihat dalam neraca konsolidasi semua bank umum sebagai berikut:

NERACA KONSOLIDASI (disederhanakan)
BANK UMUM INDONESIA 1996
(dalam trilyun)

Cadangan min.                             20

Investasi                                       70
Kredit                                            30
Tabungan giral               100

Modal                                20
120
120

Dari neraca konsolidasi tersebut terlihat uang yang beredar yang diasumsikan terlalu banyak (tabungan giral Rp 100 trilyun). Dan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia sebagian dari nilai tersebut harus dicadangkan, misalkan 20% nya (cadangan min. Rp 20 trilyun), dan sisanya dapat diinvestasikan atau disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat.
Dengan kebijaksanaan Bank Indonesia yang menjual SBI senilai Rp 0,5 trilyun tersebut, uang beredar senilai Rp 100 trilyun tersebut tanpa dikurangi dengan proses sebagai berikut:
SBI tersebut akan dibeli oleh bank umum dengan menggunakan cadangan minimalnya, sehingga setelah itu cadangan minimalnya hanya tinggal Rp 19,5 trilyun. Nilai ini harus tetap merupakan 20% dari nilai tabungan giral yang berhasil dicipta sebagai uang yang beredar. Dengan ketentuan tersebut maka tabungan giral yang kemudian diijinkan hanya sebesar Rp 97,5 trilyun (97,5 × 20% = 19,5). Dan neraca konsolidasinya menjadi:

NERACA KONSOLIDASI
(disederhanakan, setelah adanya kebijaksanaan op. ps. terbuka)
BANK UMUM INDONESIA
Per 31 Desember 1996
(dalam trilyun)

Cadangan min.                        119,5

Investasi                                       68
Kredit                                            30
Tabungan giral              97,5

Modal                                20
112,5
117,5

Dari peristiwa operasi pasar terbuka yang dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan hanya menjual surat berharga senilai (5× lipatnya). Dengan demikian jika dianggap bahwa uang yang boleh beredar (tabungan giral) adalah hanya sebesar Rp 80 trilyun, maka Bank Indonesia harus menjual surat berharga senilai Rp 4 trilyun ({(100-80)/2,5} × 0,5).
Di pihak lain, agar kebijaksanaan operasi pasar terbuka yang dijalankan Bank Indonesia tersebut berjalan sesuai harapan, maka perlu dipenuhi syarat-syarat di bawah ini:
a.    Surat berharga yang akan diperjual-belikan jumlahnya cukup. Sebagai contoh di atas, jika uang yang beredar akan dikurangi senilai Rp 20 trilyun, maka jumlah surat berharga yang harus tersedia untuk ditawarkan kepada masyarakat min. harus masih ada senilai Rp 4 trilyun. Namun jika surat berharga yang dimiliki oleh Bank Indonesia hanya senilai Rp 2 trilyun, maka jumlah uang yang berhasil dikurangi hanya sebesar Rp 10 trilyun saja. Dengan kata lain tujuan Bank Indonesia dalam mengurangi uang yang beredar sebesar Rp 20 trilyun tersebut gagal.
b.    Bank Umum tidak memiliki kelebihan dalam cadangan minimalnya. Jika dalam contoh di atas bank umum memiliki kelebihan cadangan min. sebesar Rp 2 trilyun (cadangan min. menjadi Rp 22 trilyun), maka kebijaksanaan operasi pasar terbuka Bank Indonesia juga akan gagal, karena secara matematika bank umum tetap dapat mempertahankan besar cadangan min. yang diperlukan jika tabungan giral yang tercipta Rp 100 trilyun (100 × 20% = 20 kelebihan cadangannya tinggal Rp 1,5 trilyun).

Kedua, dengan merubah tingkat suku bunga diskonto.
Cara kedua dalam kebijaksanaan moneter kuantitatif ini dilakukan sebagai alternatif atau pendukung dari cara operasi pasar terbuka.
Tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang berlaku dalam transaksi moneter antara Bank Indonesia dengan bank umum. Proses dari cara ini adalah, jika dengan asumsi yang sama, bahwa agar uang yang beredar di Indonesia tidak terlalu banyak, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga diskonto. Dengan suku bunga diskonto yang tinggi maka bank umum tidak akan meminjam uang dari Bank Indonesia dengan jumlah yang banyak. Sehingga uang yang berada di bank umum juga menjadi sedikit, dan akibat selanjutnya uang yang tersalurkan ke masyarakat juga sedikit. Dengan demikian uang yang beredar tidak menjadi lebih banyak lagi. Akibat ini juga akan tercapai jika dengan suku bunga diskonto yang tinggi tersebut, bank umum lebih senang menyimpan uangnya di Bank Indonesia daripada mengeluarkannya untuk masyarakat.

Ketiga, dengan cara merubah presentase cadangan min. yang harus dipenuhi oleh setiap bank umum. Dengan menggunakan contoh liustrasi 1 di atas. Telah dijelaskan jika bank umum memiliki kelebihan cadangan min. maka operasi pasar terbuka akan gagal. Jika ini yang terjadi maka Bank Indonesia masih dapat mengatasinya denga cara menaikkan presentase wajib cadangan minimalnya menjadi 22%, sehingga secara matematis nilai uang yang beredar (tabungan giral) tetap dapat dikurangi, meskipun tidak sebesar sebelum para bank umum tadi memiliki kelebihan cadangan min. sebesar Rp 2 trilyun.
Dengan cara ketiga ini, uang yang beredar dapat dikurangi sebesar Rp 2,3 trilyun (97,7 × 22% = 21,5). Namun demikian cara ini pun akan gagal jika bank umum kembali  menetapkan/ memiliki kelebihan cadangan min. lagi.

b.    Kebijaksanaan Moneter Kualitatif
Untuk lebih mensukseskan cara-cara kuantitaif di atas maka Bank Indonesia dapat melakukan kebijaksanaan moneter yang bersifat kualitatif ini.
Yang dimaksud dengan kebijaksanaan moneter kualitatif ini adalah dengan mengatur dan menghimbau pihak bank umum/ lembaga keuangan lainnya, guna mendukung kebijaksanaan moneter kuantitaif yang sedang dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Sebagai contoh dalam ilustrasi 1, Bank Indonesia akan menghimbau kepada manajemen bank umum untuk tidak memiliki kelebihan cadangan minimal yang telah ditetapkan. Di samping itu kebijaksanaan ini juga bertujuan untuk lebih mengawasi kegiatan perbankan dan lembaga keuangan lainnya agar tidak sampai merugikan masyarakat, bank umum itu sendiri sampai dengan perekonomian secara umum.

3.      KEBIJAKAN FISKAL
Jika di dalam kebijaksanaan moneter pemerintah menggunakan elemen uang beredar dan suku bunga untuk mengatr perekonomian, maka kebijaksanaan fiskal adalah suatu tndakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui anggaran belanja negara, dan biasanya dikaitkan dengan masalah perpajakan. Meskipun tidak selalu demikian, namun orang lebih melihat kebijaksanaan fiskal sebagai kebijaksanaan pemerintah di sektor perpajakan.
Kebijaksanaan fiskal (dalam hal ini melalui perpajakan) dapat dibedakan dari beberapa segi.
Pertama, jika dilihat dari segi cara pembayarannya, sistem pembayaran pajak dibagi menjadi dalam istilah:
a.      Pajak langsung: pajak yang pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
Sebagai contoh adalah pajak kendaraan bermotor. Siapapun pemiliknya maka dia sendirilah yang harus membayarnya. Meskipun secara fisik dapat diwakilkan/ dilakukan oleh orang lain, namun secara formal harus dilakukan oleh si pemilik (diwakili dengan KTP asli si pemilik).
b.      Pajak tidak langsung: pajak yang pembayarannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, seperti pajak pertambahan nilai, cukai rokok, dsb.

Kedua, jika dilihat dari besar-kecilnya nilai yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak (WP), pajak dapat dibagi dalam:
a.      Pajak Regresif: pajak yang besar-kecilnya nilai yang harus dibayarkan, ditetapkan berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan WP. Semakin tinggi pendapatan WP, semakin kecil pajak yang harus dibayarkan.
b.      Pajak Sebanding: pajak yang besar-kecilnya sama untuk berbagai tingkat pendapatan, umumnya untuk tiap jenis komoditi dengan karakteristik yang sama.
c.       Pajak Progresif: pajak yang besar-kecilnya akan ditetapkan searah dengan besarnya pendapatan WP, semakin tinggi pendapatan maka akan semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Dan sebaliknya semakin kecil pendapatan, bahkan untuk pendapatan yang ada di bawah garis standar, si WP akan mulai menerima subsidi dari pemerintah.

Ketiga, jika dilihat dari sisi tujuan ditetapkannya, maka ada beberapa tujuan dari adanya kebijaksanaan perpajakan ini, yakni:
a.       Pajak adalah sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah yang cukup potensial. Dengan semakin baiknya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka semakin besar pula nilai pajak yang dapat dihimpun oleh negara. Hal ini didukung pula dengan semakin banyaknya objek pajak dapat dikenai pajak.
b.      Pajak adalah sebagai alat pengendali tingkat pengeluaran masyarakat, dengan sistem perpajakan dapat membantu pemerintah dalam hal menekan pengeluaran, terutama jika kondisi perekonomian sedemikian cepatnya sehingga dapat memicu inflasi yang semakin tidak terkendali, sehingga pengeluaran masyarakat dan pemerintah perlu dikurangi.
Dengan adanya pajak pendapatan disposible (Yd) yang siap dibelanjakan menjadi berkurang, sehingga konsumsi akan ikut mengalami pengurangan.
c.       Pajak adalah salah satu alat yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk lebih meratakan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Dengan pajak yang progresif dapat dilakukan upaya untuk mempersempit tingkat/ jurang kesenjangan antara golongan ekonomi kuat dan lemah.
Pajak yang dihimpun dari para ekonomi kuat dapat disebar kembali ke rakyat banyak dalam bentuk subsidi, bantuan kemanuasiaan, pembangunan sarana dan prasarana umum yang banyak dibutuhkan rakyat banyak. Dengan demikian si kaya turut menyisihkan sebagian kekayaannya/ kelebihan dana untuk kepentingan rakyat banyak melalui pajak yang ia bayarkan.
Di pihak lain tentunya pemerintah pun akan memberikan berbagai kemudahan kepada para ekonomi kuat dalam memperlancar aktivitas usahanya.

4.     KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER LUAR NEGERI
Di dalam sektor luar negeri, kedua kebijaksanaaan ini memiliki istilah lain, yang di dalam istilah tersebut terdapat kombinasi antara keduanya. Istilah yang dimaksud adalah:
a.       Kebijaksanaan menekan pengeluaran
Kebijaksanaan ini dilakukan dengan cara mengurangi tingkat konsumsi/ pengeluaran yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi di Indonesia. Cara-cara yang ditempuh diantaranya:
Menaikkan pajak pendapatan. Dengan tindakan ini maka pendapatan yang siap untuk dibelanjakan masyarakat (Y disposible) menjadi berkurang sehingga diharapkan masyarakat akan mengurangi presentase pengeluarannya.
Menaikkan tingkat bunga. Dengan kebijaksanaan ini, kegiatan investasi menjadi tidak menarik lagi. Akibatnya kegiatan investasi akan turun yang berarti pengeluaran dari sektor ini akan berkurang.
Mengurangi pengeluaran pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penjadwalan ulang proyek-proyek dengan lebih mengutamakan prioritas kebutuhan yang lebih mendesak, dan dengan mengurangi bentuk-bentuk subsidi yang tidak lagi relefan.
Jika dilihat dari tindakan-tindakan yang diambil tersebut, bahwa kebijaksanaan ini tampaknya tidak cocok untuk keadaan perekonomian yang sedang mengalami tingkat pengangguran yang tinggi. Karena dengan kondisi perekonomian yang seperti itu, maka justru perekonomian sedang membutuhkan dana yang besar untuk menaikkan investasi, sehingga dapat tercipta lapangan pekerjaan yang dapat menampung para penganggur tersebut. Sedangkan jenis kebijaksanaan ini justru mengakibatkan sebaliknya.

b.      Kebijaksanaan memindah pengeluaran
Jika dalam kebijaksanaan menekan pengeluaran, para pelaku ekonomi diusahakan berkurang, maka dalam kebijaksanaan ini pengeluaran mereka tidak berkurang, hanya dipindah dan digeser pada bidang yang tidak terlalu beresiko memperburuk perekonomian. Kebijaksanaan ini dapat dilakukan secara paksa dan dapat juga dipergunakan dengan memakai rangsangan.
Secara paksa kebijaksanaan ini ditempuh dengan cara:
1.       Mengenakan tarif dan/ atau quota, dengan tindakan ini diharapkan masyarakat akan memindah konsumsinya ke komoditi buatan dalam negeri, karena dengan dikenakannya kedua hambatan perdagangan tersebut, harga komoditi impor menjadi mahal.
2.       Mengawasi pemakaian valuta asing, hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan orang membutuhkan dan menggunakan valuta asing. Kemudian akan diberikan kepada mereka yang akan menggunakan valuta asing tersebut untuk mengekspor komoditi yang membantu terpenuhinya kebutuhan rakyat banyak dan demi meningkatnya produktivitas perekonomian.

Sedangkan kebijaksanaan memindah pengeluaran yang dilakukan dengan rangsangan dapat ditempuh dengan cara:
1.      Menciptakan rangsangan-rangsangan ekspor, misalnya dengan mengurangi pajak komoditi ekspor, menyederhanakan prosedur ekspor, memberantas pungutan liar (pungli) dan biaya-biaya siluman yang turut membebani harga komoditi ekspor.
2.      Menyetabilkan uah dan harga di dalam negeri, dengan demikian akan lebih memberi iklim yang lebih sehat bagi masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi produk dalam negeri. Dengan upah yang stabil akan ada kepastian pendapatan bagi masyarakat. Dan dengan kepastian harga, konsumen akan lebih tenang, dan menghindarkan dari tindakan spekulasi.
3.      Melakukan devaluasi, yaitu suatu tindakan pemerintah dengan menurunan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar. Dengan kata lain, devaluasi menyebabkan semakin banyak Rupiah yang harus dikorbankan untuk mendapatkan 1 unit dolar. Namun akibat positif yang ditimbulkannya adalah semakin murahnya nilai komoditi ekspor Indonesia di pasar dunia.
Dengan demikian tujuan mendasar di lakukannya devaluasi adalah untuk meningkatkan volume transaksi komoditi ekspor Indonesia. Harapannya dengan peningkatan tersebut, penerimaan negara dari sektor perdagangan luar negeri dapat meningkat, sehingga diperoleh dana pembangunan yang lebih banyak. Namun demikian, manfaat devaluasi tersebut baru dapat dirasakan jika dipenuhi beberapa kondisi di bawah ini, yakni:

Pertama, permintaan komoditi ekspor Indonesia memiliki sifat yang elastis.
Elastis artinya bahwa perubahan sedikit saja pada harga akan menyebabkan kenaikan permintaan terhadap komoditi tersebut dalam volume yang jauh lebih besar. Untuk lebih melihat prosesnya, dapat dilihat dalam grafik berikut:

Grafik di atas menunjukkan bahwa jika komoditi ekspor kita memiliki elastisitas permintaan seperti ini, maka devaluasi akan ada manfaatnya. Adanya penurunan sedikit saja dalam harga (dari P0 ke P1) akan menyebabkan kenaikan permintaan kooditi tersebut di luar negeri, dalam volume yang jauh lebih besar (dari Q0 ke Q1).
Namun jika komoditi ekspor Indonesia memiliki sifat permintaan yang sebaliknya, seperti yang ditunjukkan dalam grafik berikut:

Maka penurunan harga yang cukup besar (akibat devaluasi) dari P0 ke P1 ternyata tidak diimbangi dengan kenaikan volume ekspor (dari Q0 ke Q1) yang hanya naik sedikit saja. Sehingga kenaikan yang sediki tersebut tidak cukup untuk menutupi ‘kerugian’ yang terjadi karena adanya tindakan devaluasi tersebut.

Kedua, permintaan komoditi ekspor juga bersifat elastis, dalam arti hampir sama dengan yang pertama, maka jka terjadi bahwa harga komoditi impor menjadi mahal sedikit saja (karena efek devaluasi), maka akan terjadi penurunan permintaan dari masyarakat Indonesia terhadap komoditi impor dalam jumlah yang sangat besar, dengan demikian tindakan devaluasi akan membawa hasil. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, meskipun harga komoditi impor telah diturunkan, bahkan dengan presentase yang besar sekalipun, tetapi selera masyarakat Indonesia terhadap komoditi asing begitu tinggi, maka tindakan devaluasi tersebut tidak akan membawa dampak yang positif.

Ketiga, kemampuan industri nasioanal dalam memenuhi adanya peningkatan permintaan ekspor Indonesia tersebut. Jika di dalam negeri kapasitas produksi belum sepenuhnya digunakan (under eployment), maka masih ada kemungkinan untuk memanfaatkan kesempatan dengan memenuhi kenaikan permintaan tersebut. Namun jika kapasitas produksi sudah penuh dan bahkan telah ‘over employment’, maka adanya kenaikan permintaan tersebut tidak akan berarti banyak, dengan demikian devaluasi yang dilakukan tidak akan berakibat banyak pada kondisi perekonomian Indonesia.

Keempat, adanya kemampuan pemerintah dan masyarakat di dalam mengendalikan inflasi di dalam negeri. Jika inflasi tetap tinggi, maka harga di dalam negeri cenderung tinggi, sehingga jika produk/ komoditi tersebut diekspor maka harganya juga akan tinggi, sedangkan tujuan kebijaksanaan devaluasi itu sendiri bertujuan menurunkan harga komoditi ekspor.

Kelima, kenyataan bahwa negara mitra dagang Indonesia tidak melakukan tindakan/ kebijaksanaan yang sama. Jika ini terjadi dengan nilai devaluasi yang lebih besar, maka kejadiannya akan menyebabkan harga komoditi ekspor Indonesia (impor bagi negara mitra) akan menjadi mahal. Dan sebaliknya komoditi impor negara (ekspor dari negara mitra menjadi lebih murah). Sesuatu hal yang jauh dari harapan dilaksanakannya kebijaksanaan devaluasi oleh pemerintah.

5.  KEBIJAKAN SELAMA PERIODE REFORMASI

A.   Pemerintahan Reformasi
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.

1.    Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
·     Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
  • Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
  • Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
  • Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
  • Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
  • Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
  • Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
2.    Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal,  restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.

Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif.  Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.

Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua,utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar.

Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.

Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
·         Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
  • Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
  • Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
  • Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
3.    Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
·    Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
  • Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.

4.    Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I  (Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Namun, selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru.  Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS 14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5 triliun.

Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (Era SBY–BOEDIONO) = (2009-2014)
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
  1. BI rate
  2. Nilai tukar
  3. Operasi moneter
  4. Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hampir tujuh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan selama itu pula perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa keemasannya. Beberapa pengamat ekonomi bahkan berpendapat kekuatan ekonomi Indonesia sekarang pantas disejajarkan dengan 4 raksasa kekuatan baru perekonomian dunia yang terkenal dengan nama BIRC (Brazil, Rusia, India, dan China).
Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya fondasi perekonomian Indonesia direspon dunia internasional dengan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya yang sangat terasa adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor tertingginya sepanjang sejarah dengan berhasil menembus angka 3.800. Bahkan banyak pengamat yang meramalkan sampai akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus level 4000.
Indonesia saat ini menjadi ekonomi nomor 17 terbesar di dunia. “Tujuan kami adalah untuk menduduki 10 besar. Kami sangat optimistis karena IMF pun memprediksi ekonomi Indonesia akan mengalahkan Australia dalam waktu kurang dari satu dekade ke depan,” tutur SBY dalam sebuah acara.


No comments:

Post a Comment