1. KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH SELAMA
Di dalam
menjalankan fungsinya sebagai pelaku ekonomi yang memiliki fungsi prioritas sebagai
dinamisator dan stabilisator, maka pemerintah perlu merencanakan dan
melaksanakan tindakan-tindakan yang berkesinambungan guna menyiapkan,
mengarahkan kegiatan ekonomi di Indonesia. Tindakan-tindakan itulah yang yang
kemudian lebih dikenal dengan kebijksanaan pemerintah di bidang ekonomi.
Meskipun demikian kebijaksanaan di bidang lain tidak kalah pentingnya dalam
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi itu sendiri.
Sebelum
dibahas mengenai kebijaksanaan pemerintah yang saat ini ada, perlu kiranya
dilihat perkembangan dan sejarah kebijaksanaan pemerintah yang pernah
dilaksanakan dalam perekonomian Indonesia, khususnya setelah masa Orde Baru
berjalan. Beberapa kebijaksanaan yang cukup menonjol sejak Orde Baru berjalan
diantaranya adalah:
A.PERIODE 1966-1969
Kebijaksanaan pemerintah
pada masa ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua
sektor dari unsur-unsur peninggalan pemerintah Orde Lama, terutama paham
komunis. Selain itu masa ini juga diisi dengan kebijaksanaan pemerntah dalam
mengupayakan penurunan tingkat inflasi yang masih tinggi. Kebijaksanaan ini
cukup berhasil menekan inflasi dari ± 650%
menjadi ± 10% saja, suatu prestasi
ekonomi yang tidak kecil.
B.PERIODE PELITA I
Kebijaksanaan pada periode
Pelita Pertama ini dimulai dengan:
· Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai
penyempurnaan tata niaga bidang ekspor dan impor
· Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang Rupiah terhadap
Dollar, dengan sasaran pokoknya adalah:
Kestabilan
harga bahan pokok
Peningkatan
nilai ekspor
Kelancaran
impor
C.PERIODE PELITA II
Periode
ini diisi dengan kebijaksanaan mengenai:
Perkreditan
untuk mendorong para eksportir kecil dan menengah, di samping untuk mendorong
kemajuan pengusaha kecil/ ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil
(KIK).
· Kebijaksanaan Fiskal, dengan cara penghapusan
pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing komoditi ekspor di pasar
dunia, serta untuk menggalakkan
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri guna mendorong investasi
dalam negeri. Hasil dari kebijaksanaan ini di antaranya adalah:
a. Naiknya
cadangan devisa dari $ 1,8 milyar menjadi $ 2,58 milyar
b. Naiknya
tabungan pemerintah dari Rp 225 milyar menjadi Rp 1.522 milyar
· Kebijaksanaan 15 Nopember 1978 (KNOP 15), yakni
kebijaksanaan di bidang moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi
nasional, serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor, yang pada masa ini
menjadi lemah karena:
1. Adanya
inflasi yang besarnya rata-rata 34%, sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi
mahal di pasar dunia, akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis
dari negara lain.
2. Adanya
resesi dan krisis dunia pada tahun 1979
Di samping
itu KNOP 15 juga didukung oleh kebijaksanaan devaluasi Rupiah dari Rp 415/$
menjadi Rp 625/$. Kebijaksanaan lain yang mendukung pada periode ini adalah
dengan diturunkannya Bea Masuk untuk komoditi impor yang merupakan komoditi
bahan penolong, serta dengan menaikkan Bea Masuk untuk komoditi impor lainnya.
D. PERIODE PELITA III
Periode
ini diwarnai dengan devisitnya neraca perdagangan Indonesia, yang disebabkan
karena diterapkannya tindakan proteksi dan kuota oleh negara-negara pasaran
komoditi ekspor Indonesia. Adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang
sempat dikeluarkan dalam periode ini adalah:
· Paket Januari 1982, yang berisi mengenai tata
cara pelaksanaan ekspor-impor, dan lalu lintas devisa. Di dalam kebijaksanaan
ini diterapkan kemudahan dalam hal pajak yang dikenakan terhadap komoditi
ekspor, serta kemudahan dalam hal kredit untuk komoditi ekspor. Kebijaksanaan
ini kurang membawa hasil, dikarenakan terjadinya resesi dunia yang juga belum
berakhir.
· Paket kebijaksanaan imbal beli (counter
purchase), yang dikeluarkan untuk menunjang kebijaksanaan paket Januari di
atas. Dalam kebijaksanaan ini tersirat keharusan eksportir maupun importir luar
negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama. Ternyata
kebijaksanaan ini pun masih kurang berhasil, karena resesi dunia tersebut.
Dengan adanya resesi tersebut menyebabkan naiknya tingkat inflasi, sehingga
tabungan masyarakat menurun, dana untuk investasi menjadi berkurang. Akibat
lebih jauhnya adalah turunnya produktivitas dan dengan demikian pertumbuhan
ekonomi menjdi berkurang.
· Kebijaksanaan Devaluasi 1983, yakni dengan
menurunnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar dari Rp 625/$ menjadi
Rp 970/$, dengan harapan:
a. Gairah
ekspor dapat meningkat, sehingga penerimaan negara menjadi lebih banyak
b. Komoditi
ekspor menjadi lebih mahal, karena diperlukan lebih banyak rupiah untuk mendapatkannya.
Dengan demikian diharapkan industri dalam negeri dapat berkembang untuk
meningkatkan produktivitas. Akibatnya penerimaan pemerintah dari sektor pajak
pun dapat ditingkatkan.
E.PERIODE PELITA IV
Beberapa kebijaksanaan
pemerintah yang lahir dalam periode ini adalah:
· Kebijaksanaan INPRES No. 4 Tahun 1985,
kebijaksanaan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan ekspor
non-migas. Sedangkan di pihak lain masih banyak ditemui hambatan, seperti
sarana pelabuhan yang masih “semrawut” dan munculnya ekonomi biaya tinggi.
Tindakan yang diambil untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi adalah:
a. Memberantas
pungutan liar
b. Mempermudah
prosedur ke-Pabeanan
c. Menghapus
dan memberantas biaya-biaya siluman
· Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 (PAKEM), yang dikeluarkan
dengan tujuan untuk mendorong sektor swasta di bidang ekspor maupun di bidang
penanaman modal.
· Paket Devaluasi 1986, tindakan ini ditempuh
karena jatuhnya harga minyak di pasaran dunia yang megakibatkan penerimaan
pemerintah turun. Kebijaksanaan kali ini didukung dengan dilaksanakannya
pinjaman luar negeri.
· Paket kebijaksanaan 25 oktober 1986, yang
merupakan deregulasi di bidang
perdagangan, moneter, dan penanaman modal, dengan cara melakukan:
a. Penurunan
Bea Masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku
b. Proteksi
produksi yang lebih efeisien
c. Kebijaksanaan
penanaman modal
· Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987, dengan
melakukan peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa sektor
industri (menengah ke atas) dalam rangka meningkatkan ekspor non migas. Langkah
yang ditempuh di antaranya adalah:
a. Penyempurnaan
dan penyederhanaan ketentuan impor
b. Pembebasan
dan keringanan dalam Bea masuk
c. Penyempurnaan
klasifikasi barangnya
· Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES),
dengan melakukan restrukturisasi bidang ekonomi, terutama dalam usaha
memperlancar perizinan (deregulas).
· Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988, yakni
kebijaksanaan deregulasi untuk
menggairahkan pasar modal dan untuk menghimpun dana masyarakat guna biaya
pembangunan.
· Paket Kebijaksanaan 21 November 1988 (PAKNOV),
dengan melakukan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan
dan hubungan laut.
· Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES),
yakni kebijaksanaan di bidang keuangan dengan memberikan keleluasaan bagi pasar
modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif. Selain
iu, kebijaksanaan juga berisi mengenai deregulasi
dalam hal pendirian perusahaan asuransi.
F. PERIODE PELITA V
Kebijaksanaan
pemerintah selama Pelita V lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian, dan
upaya kondusif guna mempersiapkan proses tinggal landas menuju rencana
Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua.
2. KEBIJAKSANAAN MONETER
Adalah
sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui peredaran
uang dan tingkat suku bunga. Kebijaksanaan ini ditempuh untuk mengantisipasi
pengaruh-pengaruh baik yang positif atau sebaliknya, dari peredaran uang dan
tingkat suku bunga yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena
peran uang yang begitu vital dalam kehidupan perekonomian suatu negara, begitu
pula pentingnya tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi pola kegiatan
investasi di Indonesia.
Di dalam
sistem perekonomian Indonesia, kebijaksanaan moneter ini dijalankan oleh pemerintah
melalui lembaga keuangan yang disebut dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia
seperti halnya di negara-negara lainnya, adalah satu-satunya bank sentral di
Indonesia yang secara lebih rinci memiliki tugas:
·
Sebagai bank-nya pemerintah, yaitu membantu
pemerintah dalam mengelola (menyimpan dan meminjami) dana pemerintah yang akan
dipergunakan untuk pembangunan
·
Sebagai bank-nya bank umum, yaitu membantu para
bank umum dalam kegiatan operasional dana yang dimiliki atau dibutuhkannya
·
Sebagai lembaga pengawasan kegiatan lembaga
keuangan, yaitu mengawasi produk-produk yang dikeluarkan oleh masing-masing
lembaga keuangan yang dapat mempengaruhi peredaran uang dan iklim investasi
·
Bersama lembaga pemerintah terkait lainnya
bertugas sebagai lembaga pengawas kegiatan ekonomi di sektor luar negeri
·
Memperlancar kegiatan perekonomian dengan cara
mencetak uang kartal (kertas dan logam)
Dilihat
dari upaya yang ditempuh, kebijaksanaan moneter ini dapat dikelompokkan menjadi
2 jenis kebijaksanaan moneter, yakni:
a. Kebijaksanaan
Moneter Kuantitatif
Sesuai
dengan namanya jenis kebijaksanaan moneter ini dijalankan dengan mengatur uang
beredar dan tingkat suku bunga dari segi kuantitasnya. Kebijaksanaan jenis ini
umumnya dijalankan dengan tiga cara, yaitu:
Pertama, dengan melakukan
operasi pasar terbuka, yakni dengan memperjual-belikan surat-surat berharga
(SBI) yang dimiliki oleh Bank Indonesia, dengan harapan uang yang yang beredar
akan menjadi lebih banyak atau menjadi lebih sedikit sesuai yang diperlukan
dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Proses operasi pasar terbuka ini
dapat dilihat dalam ilustrasi berikut:
Ilustrasi
1
Dengan
asumsi bahwa uang yang beredar di Indonesia suatu saat dianggap terlalu banyak
sehingga dikhawatirkan akan memacu timbulnya spekulasi dan inflasi, maka Bank
Indonesia memutuskan akan menarik sebagian uang yang beredar dengan jalan
menjual surat-surat berharga yang masih dimilikinya. Untuk itu Bank Indonesia
akan menjual surat berharga senilai Rp 0,5 trilyun. Adapun data mengenai uang
yang beredar dapat dilihat dalam neraca konsolidasi semua bank umum sebagai
berikut:
NERACA
KONSOLIDASI (disederhanakan)
BANK
UMUM INDONESIA 1996
(dalam
trilyun)
Cadangan min. 20
Investasi 70
Kredit
30
|
Tabungan giral 100
Modal 20
|
120
|
120
|
Dari
neraca konsolidasi tersebut terlihat uang yang beredar yang diasumsikan terlalu
banyak (tabungan giral Rp 100 trilyun). Dan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia sebagian dari nilai tersebut harus dicadangkan, misalkan 20% nya
(cadangan min. Rp 20 trilyun), dan sisanya dapat diinvestasikan atau disalurkan
dalam bentuk kredit ke masyarakat.
Dengan
kebijaksanaan Bank Indonesia yang menjual SBI senilai Rp 0,5 trilyun tersebut,
uang beredar senilai Rp 100 trilyun tersebut tanpa dikurangi dengan proses
sebagai berikut:
SBI
tersebut akan dibeli oleh bank umum dengan menggunakan cadangan minimalnya,
sehingga setelah itu cadangan minimalnya hanya tinggal Rp 19,5 trilyun. Nilai
ini harus tetap merupakan 20% dari nilai tabungan giral yang berhasil dicipta
sebagai uang yang beredar. Dengan ketentuan tersebut maka tabungan giral yang
kemudian diijinkan hanya sebesar Rp 97,5 trilyun (97,5 × 20% = 19,5). Dan neraca
konsolidasinya menjadi:
NERACA
KONSOLIDASI
(disederhanakan,
setelah adanya kebijaksanaan op. ps. terbuka)
BANK
UMUM INDONESIA
Per
31 Desember 1996
(dalam
trilyun)
Cadangan min. 119,5
Investasi 68
Kredit
30
|
Tabungan giral 97,5
Modal 20
|
112,5
|
117,5
|
Dari
peristiwa operasi pasar terbuka yang dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut
dapat disimpulkan bahwa, dengan hanya menjual surat berharga senilai (5×
lipatnya). Dengan demikian jika dianggap bahwa uang yang boleh beredar
(tabungan giral) adalah hanya sebesar Rp 80 trilyun, maka Bank Indonesia harus
menjual surat berharga senilai Rp 4 trilyun ({(100-80)/2,5} ×
0,5).
Di pihak
lain, agar kebijaksanaan operasi pasar terbuka yang dijalankan Bank Indonesia
tersebut berjalan sesuai harapan, maka perlu dipenuhi syarat-syarat di bawah
ini:
a. Surat
berharga yang akan diperjual-belikan jumlahnya cukup. Sebagai contoh di atas,
jika uang yang beredar akan dikurangi senilai Rp 20 trilyun, maka jumlah surat
berharga yang harus tersedia untuk ditawarkan kepada masyarakat min. harus
masih ada senilai Rp 4 trilyun. Namun jika surat berharga yang dimiliki oleh
Bank Indonesia hanya senilai Rp 2 trilyun, maka jumlah uang yang berhasil
dikurangi hanya sebesar Rp 10 trilyun saja. Dengan kata lain tujuan Bank
Indonesia dalam mengurangi uang yang beredar sebesar Rp 20 trilyun tersebut
gagal.
b. Bank
Umum tidak memiliki kelebihan dalam cadangan minimalnya. Jika dalam contoh di
atas bank umum memiliki kelebihan cadangan min. sebesar Rp 2 trilyun (cadangan
min. menjadi Rp 22 trilyun), maka kebijaksanaan operasi pasar terbuka Bank
Indonesia juga akan gagal, karena secara matematika bank umum tetap dapat
mempertahankan besar cadangan min. yang diperlukan jika tabungan giral yang
tercipta Rp 100 trilyun (100 × 20% = 20 kelebihan cadangannya
tinggal Rp 1,5 trilyun).
Kedua, dengan merubah tingkat
suku bunga diskonto.
Cara kedua
dalam kebijaksanaan moneter kuantitatif ini dilakukan sebagai alternatif atau
pendukung dari cara operasi pasar terbuka.
Tingkat
bunga diskonto adalah tingkat bunga yang berlaku dalam transaksi moneter antara
Bank Indonesia dengan bank umum. Proses dari cara ini adalah, jika dengan
asumsi yang sama, bahwa agar uang yang beredar di Indonesia tidak terlalu
banyak, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menaikkan tingkat suku
bunga diskonto. Dengan suku bunga diskonto yang tinggi maka bank umum tidak
akan meminjam uang dari Bank Indonesia dengan jumlah yang banyak. Sehingga uang
yang berada di bank umum juga menjadi sedikit, dan akibat selanjutnya uang yang
tersalurkan ke masyarakat juga sedikit. Dengan demikian uang yang beredar tidak
menjadi lebih banyak lagi. Akibat ini juga akan tercapai jika dengan suku bunga
diskonto yang tinggi tersebut, bank umum lebih senang menyimpan uangnya di Bank
Indonesia daripada mengeluarkannya untuk masyarakat.
Ketiga, dengan cara merubah
presentase cadangan min. yang harus dipenuhi oleh setiap bank umum. Dengan
menggunakan contoh liustrasi 1 di atas. Telah dijelaskan jika bank umum
memiliki kelebihan cadangan min. maka operasi pasar terbuka akan gagal. Jika
ini yang terjadi maka Bank Indonesia masih dapat mengatasinya denga cara
menaikkan presentase wajib cadangan minimalnya menjadi 22%, sehingga secara
matematis nilai uang yang beredar (tabungan giral) tetap dapat dikurangi,
meskipun tidak sebesar sebelum para bank umum tadi memiliki kelebihan cadangan
min. sebesar Rp 2 trilyun.
Dengan
cara ketiga ini, uang yang beredar dapat dikurangi sebesar Rp 2,3 trilyun (97,7
×
22% = 21,5). Namun demikian cara ini pun akan gagal jika bank umum kembali menetapkan/ memiliki kelebihan cadangan min.
lagi.
b.
Kebijaksanaan Moneter Kualitatif
Untuk lebih mensukseskan cara-cara kuantitaif di atas maka Bank
Indonesia dapat melakukan kebijaksanaan moneter yang bersifat kualitatif ini.
Yang dimaksud dengan kebijaksanaan moneter kualitatif ini adalah
dengan mengatur dan menghimbau pihak bank umum/ lembaga keuangan lainnya, guna
mendukung kebijaksanaan moneter kuantitaif yang sedang dilaksanakan oleh Bank
Indonesia.
Sebagai contoh dalam ilustrasi 1, Bank Indonesia akan menghimbau
kepada manajemen bank umum untuk tidak memiliki kelebihan cadangan minimal yang
telah ditetapkan. Di samping itu kebijaksanaan ini juga bertujuan untuk lebih
mengawasi kegiatan perbankan dan lembaga keuangan lainnya agar tidak sampai
merugikan masyarakat, bank umum itu sendiri sampai dengan perekonomian secara umum.
3. KEBIJAKAN FISKAL
Jika di
dalam kebijaksanaan moneter pemerintah menggunakan elemen uang beredar dan suku
bunga untuk mengatr perekonomian, maka kebijaksanaan fiskal adalah suatu
tndakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui anggaran belanja
negara, dan biasanya dikaitkan dengan masalah perpajakan. Meskipun tidak selalu
demikian, namun orang lebih melihat kebijaksanaan fiskal sebagai kebijaksanaan
pemerintah di sektor perpajakan.
Kebijaksanaan
fiskal (dalam hal ini melalui perpajakan) dapat dibedakan dari beberapa segi.
Pertama, jika dilihat dari segi
cara pembayarannya, sistem pembayaran pajak dibagi menjadi dalam istilah:
a.
Pajak
langsung: pajak yang pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak
lain.
Sebagai
contoh adalah pajak kendaraan bermotor. Siapapun pemiliknya maka dia sendirilah
yang harus membayarnya. Meskipun secara fisik dapat diwakilkan/ dilakukan oleh
orang lain, namun secara formal harus dilakukan oleh si pemilik (diwakili
dengan KTP asli si pemilik).
b.
Pajak
tidak langsung: pajak yang pembayarannya dapat dilimpahkan kepada pihak
lain, seperti pajak pertambahan nilai, cukai rokok, dsb.
Kedua, jika dilihat dari
besar-kecilnya nilai yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak (WP), pajak dapat
dibagi dalam:
a.
Pajak Regresif:
pajak yang besar-kecilnya nilai yang harus dibayarkan, ditetapkan berbanding
terbalik dengan besarnya pendapatan WP. Semakin tinggi pendapatan WP, semakin
kecil pajak yang harus dibayarkan.
b.
Pajak
Sebanding: pajak yang besar-kecilnya sama untuk berbagai tingkat pendapatan,
umumnya untuk tiap jenis komoditi dengan karakteristik yang sama.
c.
Pajak
Progresif: pajak yang besar-kecilnya akan ditetapkan searah dengan besarnya
pendapatan WP, semakin tinggi pendapatan maka akan semakin besar pula pajak
yang harus dibayarkan. Dan sebaliknya semakin kecil pendapatan, bahkan untuk
pendapatan yang ada di bawah garis standar, si WP akan mulai menerima subsidi
dari pemerintah.
Ketiga, jika dilihat dari sisi
tujuan ditetapkannya, maka ada beberapa tujuan dari adanya kebijaksanaan perpajakan
ini, yakni:
a. Pajak
adalah sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah yang cukup potensial.
Dengan semakin baiknya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka semakin
besar pula nilai pajak yang dapat dihimpun oleh negara. Hal ini didukung pula
dengan semakin banyaknya objek pajak dapat dikenai pajak.
b. Pajak
adalah sebagai alat pengendali tingkat pengeluaran masyarakat, dengan sistem
perpajakan dapat membantu pemerintah dalam hal menekan pengeluaran, terutama
jika kondisi perekonomian sedemikian cepatnya sehingga dapat memicu inflasi
yang semakin tidak terkendali, sehingga pengeluaran masyarakat dan pemerintah
perlu dikurangi.
Dengan
adanya pajak pendapatan disposible (Yd) yang siap dibelanjakan menjadi
berkurang, sehingga konsumsi akan ikut mengalami pengurangan.
c. Pajak
adalah salah satu alat yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk lebih
meratakan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Dengan pajak yang
progresif dapat dilakukan upaya untuk mempersempit tingkat/ jurang kesenjangan
antara golongan ekonomi kuat dan lemah.
Pajak yang
dihimpun dari para ekonomi kuat dapat disebar kembali ke rakyat banyak dalam
bentuk subsidi, bantuan kemanuasiaan, pembangunan sarana dan prasarana umum
yang banyak dibutuhkan rakyat banyak. Dengan demikian si kaya turut menyisihkan
sebagian kekayaannya/ kelebihan dana untuk kepentingan rakyat banyak melalui
pajak yang ia bayarkan.
Di pihak
lain tentunya pemerintah pun akan memberikan berbagai kemudahan kepada para
ekonomi kuat dalam memperlancar aktivitas usahanya.
4. KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER LUAR NEGERI
Di dalam
sektor luar negeri, kedua kebijaksanaaan ini memiliki istilah lain, yang di
dalam istilah tersebut terdapat kombinasi antara keduanya. Istilah yang
dimaksud adalah:
a. Kebijaksanaan
menekan pengeluaran
Kebijaksanaan
ini dilakukan dengan cara mengurangi tingkat konsumsi/ pengeluaran yang
dilakukan oleh para pelaku ekonomi di Indonesia. Cara-cara yang ditempuh
diantaranya:
Menaikkan pajak pendapatan. Dengan
tindakan ini maka pendapatan yang siap untuk dibelanjakan masyarakat (Y
disposible) menjadi berkurang sehingga diharapkan masyarakat akan mengurangi
presentase pengeluarannya.
Menaikkan tingkat bunga. Dengan
kebijaksanaan ini, kegiatan investasi menjadi tidak menarik lagi. Akibatnya
kegiatan investasi akan turun yang berarti pengeluaran dari sektor ini akan
berkurang.
Mengurangi pengeluaran pemerintah. Hal
ini dapat dilakukan dengan melakukan penjadwalan ulang proyek-proyek dengan
lebih mengutamakan prioritas kebutuhan yang lebih mendesak, dan dengan mengurangi
bentuk-bentuk subsidi yang tidak lagi relefan.
Jika
dilihat dari tindakan-tindakan yang diambil tersebut, bahwa kebijaksanaan ini
tampaknya tidak cocok untuk keadaan perekonomian yang sedang mengalami tingkat
pengangguran yang tinggi. Karena dengan kondisi perekonomian yang seperti itu,
maka justru perekonomian sedang membutuhkan dana yang besar untuk menaikkan
investasi, sehingga dapat tercipta lapangan pekerjaan yang dapat menampung para
penganggur tersebut. Sedangkan jenis kebijaksanaan ini justru mengakibatkan
sebaliknya.
b. Kebijaksanaan
memindah pengeluaran
Jika dalam
kebijaksanaan menekan pengeluaran, para pelaku ekonomi diusahakan berkurang,
maka dalam kebijaksanaan ini pengeluaran mereka tidak berkurang, hanya dipindah
dan digeser pada bidang yang tidak terlalu beresiko memperburuk perekonomian.
Kebijaksanaan ini dapat dilakukan secara paksa dan dapat juga dipergunakan
dengan memakai rangsangan.
Secara
paksa kebijaksanaan ini ditempuh dengan cara:
1. Mengenakan
tarif dan/ atau quota, dengan tindakan ini diharapkan masyarakat akan memindah
konsumsinya ke komoditi buatan dalam negeri, karena dengan dikenakannya kedua
hambatan perdagangan tersebut, harga komoditi impor menjadi mahal.
2. Mengawasi
pemakaian valuta asing, hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan maksud dan
tujuan orang membutuhkan dan menggunakan valuta asing. Kemudian akan diberikan
kepada mereka yang akan menggunakan valuta asing tersebut untuk mengekspor
komoditi yang membantu terpenuhinya kebutuhan rakyat banyak dan demi meningkatnya
produktivitas perekonomian.
Sedangkan kebijaksanaan memindah pengeluaran yang dilakukan dengan
rangsangan dapat ditempuh dengan cara:
1. Menciptakan
rangsangan-rangsangan ekspor, misalnya dengan mengurangi pajak komoditi ekspor,
menyederhanakan prosedur ekspor, memberantas pungutan liar (pungli) dan
biaya-biaya siluman yang turut membebani harga komoditi ekspor.
2. Menyetabilkan
uah dan harga di dalam negeri, dengan demikian akan lebih memberi iklim yang
lebih sehat bagi masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi produk dalam negeri.
Dengan upah yang stabil akan ada kepastian pendapatan bagi masyarakat. Dan
dengan kepastian harga, konsumen akan lebih tenang, dan menghindarkan dari
tindakan spekulasi.
3. Melakukan
devaluasi, yaitu suatu tindakan pemerintah dengan menurunan nilai tukar mata
uang Rupiah terhadap Dolar. Dengan kata lain, devaluasi menyebabkan semakin
banyak Rupiah yang harus dikorbankan untuk mendapatkan 1 unit dolar. Namun
akibat positif yang ditimbulkannya adalah semakin murahnya nilai komoditi ekspor
Indonesia di pasar dunia.
Dengan
demikian tujuan mendasar di lakukannya devaluasi adalah untuk meningkatkan
volume transaksi komoditi ekspor Indonesia. Harapannya dengan peningkatan
tersebut, penerimaan negara dari sektor perdagangan luar negeri dapat meningkat,
sehingga diperoleh dana pembangunan yang lebih banyak. Namun demikian, manfaat
devaluasi tersebut baru dapat dirasakan jika dipenuhi beberapa kondisi di bawah
ini, yakni:
Pertama, permintaan komoditi ekspor
Indonesia memiliki sifat yang elastis.
Elastis
artinya bahwa perubahan sedikit saja pada harga akan menyebabkan kenaikan
permintaan terhadap komoditi tersebut dalam volume yang jauh lebih besar. Untuk
lebih melihat prosesnya, dapat dilihat dalam grafik berikut:
Grafik di atas menunjukkan bahwa jika komoditi ekspor kita memiliki
elastisitas permintaan seperti ini, maka devaluasi akan ada manfaatnya. Adanya
penurunan sedikit saja dalam harga (dari P0
ke P1) akan menyebabkan kenaikan
permintaan kooditi tersebut di luar negeri, dalam volume yang jauh lebih besar
(dari Q0 ke Q1).
Namun jika komoditi ekspor Indonesia memiliki sifat permintaan yang
sebaliknya, seperti yang ditunjukkan dalam grafik berikut:
Maka penurunan harga yang cukup besar (akibat devaluasi) dari P0 ke P1
ternyata tidak diimbangi dengan kenaikan volume ekspor (dari Q0 ke Q1)
yang hanya naik sedikit saja. Sehingga kenaikan yang sediki tersebut tidak
cukup untuk menutupi ‘kerugian’ yang terjadi karena adanya tindakan devaluasi
tersebut.
Kedua, permintaan komoditi
ekspor juga bersifat elastis, dalam arti hampir sama dengan yang pertama, maka
jka terjadi bahwa harga komoditi impor menjadi mahal sedikit saja (karena efek
devaluasi), maka akan terjadi penurunan permintaan dari masyarakat Indonesia
terhadap komoditi impor dalam jumlah yang sangat besar, dengan demikian
tindakan devaluasi akan membawa hasil. Namun jika yang terjadi adalah
sebaliknya, meskipun harga komoditi impor telah diturunkan, bahkan dengan
presentase yang besar sekalipun, tetapi selera masyarakat Indonesia terhadap komoditi
asing begitu tinggi, maka tindakan devaluasi tersebut tidak akan membawa dampak
yang positif.
Ketiga, kemampuan industri
nasioanal dalam memenuhi adanya peningkatan permintaan ekspor Indonesia
tersebut. Jika di dalam negeri kapasitas produksi belum sepenuhnya digunakan
(under eployment), maka masih ada kemungkinan untuk memanfaatkan kesempatan
dengan memenuhi kenaikan permintaan tersebut. Namun jika kapasitas produksi
sudah penuh dan bahkan telah ‘over employment’, maka adanya kenaikan permintaan
tersebut tidak akan berarti banyak, dengan demikian devaluasi yang dilakukan
tidak akan berakibat banyak pada kondisi perekonomian Indonesia.
Keempat, adanya kemampuan
pemerintah dan masyarakat di dalam mengendalikan inflasi di dalam negeri. Jika
inflasi tetap tinggi, maka harga di dalam negeri cenderung tinggi, sehingga
jika produk/ komoditi tersebut diekspor maka harganya juga akan tinggi,
sedangkan tujuan kebijaksanaan devaluasi itu sendiri bertujuan menurunkan harga
komoditi ekspor.
Kelima, kenyataan bahwa
negara mitra dagang Indonesia tidak melakukan tindakan/ kebijaksanaan yang
sama. Jika ini terjadi dengan nilai devaluasi yang lebih besar, maka
kejadiannya akan menyebabkan harga komoditi ekspor Indonesia (impor bagi negara
mitra) akan menjadi mahal. Dan sebaliknya komoditi impor negara (ekspor dari
negara mitra menjadi lebih murah). Sesuatu hal yang jauh dari harapan
dilaksanakannya kebijaksanaan devaluasi oleh pemerintah.
5. KEBIJAKAN SELAMA PERIODE REFORMASI
A. Pemerintahan Reformasi
Pada
masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun
juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1. Masa
Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada
awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan
dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional
dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde
baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi
manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam
politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa
pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu,
Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi.
Di
bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih
berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya,
terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket
naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi
di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan
independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk
menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
· Melakukan restrukturisasi dan
rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan
Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
- Melikuidasi beberapa bank yang
bermasalah
- Menaikkan nilai tukar rupiah
terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
- Membentuk lembaga pemantau dan
penyelesaian masalah utang luar negeri
- Mengimplementasikan reformasi
ekonomi yang disyaratkan IMF
- Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
- Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
Pemerintahan
presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
2. Masa
Kepemimpinan K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada
tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju
pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan
tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di
dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya
Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan
sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan
pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di
lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah
satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya
pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap
presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden
lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden
terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa
MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu
pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai
kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya
pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah.
Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak
puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian
elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah
pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah
amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi
daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar
negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak
tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada
pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung
pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara
donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi
perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus
membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar
akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam
akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah
Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin
surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia.
Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF.
Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan
melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya,
kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih
buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia.
Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena
kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya
(seperti Standard
& Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari
stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak
mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih
kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak
menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political
will) untuk
menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan
krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada
agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal,
restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai
kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan
bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya
75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan
tidak adanya sense of
crisis terhadap
kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan
oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang
negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot
hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan
penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat
terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka
pendek.
Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya
kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah reformasi adalah
pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat
pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,-
per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah
sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk
menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan
intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui
bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden
dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar
rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah
terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut
sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa
menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang
dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada
krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian
Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal
dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua,utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai
dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang
diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada minggu
terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
·
Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di
antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku
bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai
stabil.
- Hubungan pemerintah dibawah
pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan
masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia,
penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar
negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
- Politik dan sosial yang tidak
stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk
menanamkan modal di Indonesia.
- Makin rumitnya persoalan ekonomi
ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang
cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih
banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan
saham di dalam negeri.
Pada
masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
3.
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
· Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$
5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang
luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
- Kebijakan privatisasi BUMN.
Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis
dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun
kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi
dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan,
seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada
masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam
bidang-bidang lain.
4.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat
kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan
kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan
kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi
masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing
dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya
Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk
menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang
selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika
semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah.
Selain itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa
program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil
diantaranya PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini
berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan
disana-sini.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh
sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan
Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam
negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat,
setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan
miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan
Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena
pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih
suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas
pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental,
sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
Namun, selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang
berada pada masa keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah
inflasi.
Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit.
Dari 17,11% pada tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi
pembangunan ekonomi SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan
kemudian ditambahkan dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan
turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta
orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat
kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY
yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan
konsumsi masyarakat yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di
sector riil yang tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki
tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa
master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI).
Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan
Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita
antara UsS 14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar
antara USS 4,0-4,5 triliun.
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (Era SBY–BOEDIONO) = (2009-2014)
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia
menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara
yaitu :
- BI rate
- Nilai tukar
- Operasi moneter
- Kebijakan makroprudensial untuk
pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan
pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh
pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hampir tujuh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan
kepemimpinan Presiden SBY dan selama itu pula perekonomian Indonesia boleh
dibilang tengah berada pada masa keemasannya. Beberapa pengamat ekonomi bahkan
berpendapat kekuatan ekonomi Indonesia sekarang pantas disejajarkan dengan 4
raksasa kekuatan baru perekonomian dunia yang terkenal dengan nama BIRC
(Brazil, Rusia, India, dan China).
Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 semakin
membuktikan ketangguhan perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara
superpower seperti Amerika Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru
mampu mencetak pertumbuhan yang positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya fondasi perekonomian Indonesia direspon
dunia internasional dengan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara
pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya yang sangat terasa adalah Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor tertingginya sepanjang sejarah dengan
berhasil menembus angka 3.800. Bahkan banyak pengamat yang meramalkan sampai
akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus level 4000.
Indonesia saat ini menjadi ekonomi nomor 17 terbesar
di dunia. “Tujuan kami adalah untuk menduduki 10 besar. Kami sangat optimistis
karena IMF pun memprediksi ekonomi Indonesia akan mengalahkan Australia dalam
waktu kurang dari satu dekade ke depan,” tutur SBY dalam sebuah acara.
No comments:
Post a Comment